Wakaf musytarak bisa digunakan sebagai alternatif pendanaan berkelanjutan untuk meningkatkan inklusivitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai salah satu aset filantropi dalam Islam, wakaf memiliki dua nafas yang berorientasi pada aspek ibadah terhadap Allah SWT dan aspek sosial terhadap hubungan manusia serta lingkungan. Dalam perjalanannya, wakaf telah memberikan manfaat di berbagai sektor kehidupan. Misalnya pada masa sahabat Nabi Muhammad, Umar bin Khattab mewakafkan hasil kebunnya untuk fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan hamba sahaya yang pada pemanfaatannya tidak dibatasi untuk kesejahteraan umat manusia. Berbeda dengan masa Nabi dan sahabat, pada era modern beragam bentuk wakaf telah diperkenalkan, di antaranya wakaf sukuk, wakaf uang hingga wakaf musytarak. Seiring masifnya inovasi teknologi pada ranah keuangan Islam, sektor perwakafan juga dituntut berinovasi dalam berbagai aspek yang meliputi penerapan, tata kelola, hingga regulasi agar tetap relevan dalam menjawab tantangan sosial-ekonomi masyarakat.
The 9th Global Waqf Conference (GWC) 2021 kembali digelar secara daring pada tanggal 1-2 Desember 2021 yang diprakarsai oleh International Islamic University of Malaysia (IIUM) berkolaborasi dengan Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS) dan berbagai lembaga lainnya. Salah satu rangkaian acara GWC adalah presentasi karya tulis ilmiah dari berbagai macam latar belakang, seperti akademisi maupun praktisi yang berasal dari beberapa negara. Dari sekian tema, salah satu tema yang menarik dan relevan dengan kondisi terkini khususnya di Indonesia adalah Waqf as A Facet of Life. Wakaf sebagai instrumen filantropi memberikan nilai dan manfaat bagi kehidupan. Adanya inovasi bentuk dan peruntukkan wakaf menjadikannya berkembang secara produktif serta menjadi solusi bagi isu-isu sosial-ekonomi terkini, salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Sejak bergabung dengan sejumlah organisasi internasional seperti World Trade Organization (WTO), Indonesia telah turut memberikan dampak besar bagi dunia pendidikan. Komersialisasi pendidikan di Indonesia merupakan simbol bahwa sekolah tingkat dasar hingga universitas memberikan ruang terbatas bagi golongan masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan universitas swasta maupun negeri mengarah kepada korporatisasi dan komersialisasi. Kondisi ini mengakibatkan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Dalam istilah lain “yang kaya semakin maju, yang miskin semakin tertinggal”.
Dr. Lisa Listiana salah satu presenter sekaligus direktur WaCIDS memaparkan kondisi terkini wajah pendidikan di Indonesia dalam judul paper “Providing Inclusive Education Through Waqf Mushtarak: A Proposal”. Menurutnya, tingginya biaya pendidikan di Indonesia akan menghambat kelahiran generasi-generasi unggul di masa depan. Oleh karena itu, wakaf harus menjadi terobosan yang dapat menjadi sumber pendanaan bagi sekolah dan universitas. Menurut Dr. Lisa, wakaf musytarak relevan diterapkan dengan kondisi sistem ekonomi terkini khususnya sebagai pendanaan berkelanjutan untuk meningkatkan inklusivitas pendidikan di Indonesia. Integrasi antara wakaf musytarak dengan pendidikan dapat dikategorisasi dalam beberapa aspek. Pertama, aspek fundraising yaitu pengumpulan dana wakaf dapat diperoleh dari pihak internal/eksternal sekolah maupun skim hybrid. Kedua, aspek investasi menjadi kunci keberlanjutan dana wakaf untuk dimanfaatkan di sektor riil maupun bisnis. Ketiga, aspek manajemen yang menjelaskan pentingnya profesionalitas pengelolaan wakaf musytarak bagi tata kelola dan transparansi terhadap berbagai pihak. Keempat, aspek distribusi yang menekankan pada pemberian beasiswa atau bantuan pendidikan untuk siswa/mahasiswa serta peruntukan biaya operasional kegiatan pendidikan oleh tenaga pendidik dan staf.
Terakhir, wakaf musytarak diharapkan menjadi solusi pendanaan berkelanjutan di sektor pendidikan serta mengutamakan profesionalisme, peningkatan nilai moral dan pengembangan karakter dari tenaga pendidik dan siswa/mahasiswa.
Oleh: Putri Maulidiyah & Nining Islamiyah
Kutip artikel ini:
Maulidiyah, P. & Islamiyah, N. (10 April 2022). Wakaf Musytarak: Solusi Pendanaan Sektor Pendidikan: https://wacids.or.id/2022/04/10/wakaf-musytarak-solusi-pendanaan-sektor-pendidikan%ef%bf%bc/
Categories: Berita
Tags: #KebaikanWakafmusytarakWaCIDSwakafwakaf indonesiawakaf musytarakwakaf uang
Sinergi penerapan pajak pada lembaga memiliki beberapa peluang dan tantangan, di antaranya adalah kemungkinan terjadinya moral hazard.
Pajak dan wakaf memiliki persamaan dan perbedaan. Baik pajak maupun wakaf keduanya merupakan suatu aset yang diberikan kepada negara dengan tujuan untuk mendorong kesejahteraan umum dan tidak terdapat imbal hasil secara langsung. Hanya saja pajak bersifat memaksa dan diatur oleh negara melalui undang-undang, sedangkan wakaf dianjurkan dalam agama Islam dan bersifat sukarela (sunnah).
“Seharusnya pemerintah memberikan insentif pajak pada lembaga wakaf karena aset wakaf diperuntukan untuk kesejahteran umum” ujar Nining dalam acara Waqf Training by WaCIDS #5.
Dalam pertemuan pertama yang diselenggarakan pada hari Minggu, 29 Agustus 2021 secara daring, Waqf Training by WaCIDS #5 yang mengambil topik Wakaf dan Perpajakan menghadirkan Ibu Nining Islamiyah, S.A., M.Sc. selaku trainer. Nining adalah Ketua Divisi Konten sekaligus peneliti di WaCIDS. Dalam pemaparannya, beliau membagi pembahasan menjadi tiga topik utama yaitu konsep pajak dan hubungannya dengan wakaf, peraturan perpajakan yang berkaitan dengan wakaf, serta peluang dan tantangan penerapan pajak pada lembaga wakaf.
Saat ini di Indonesia belum ada peraturan khusus yang membahas mengenai pajak atas wakaf. Peraturan mengenai pajak atas wakaf masih terdapat dalam peraturan perpajakan secara umum dan belum memiliki undang-undang tersendiri. Sebagai contoh, pengecualian tanah wakaf sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hanya dicantumkan dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 UU PBB. Perolehan atas aset wakaf juga dikecualikan dari Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), akan tetapi ketentuan mengenai hal tersebut berada dalam pasal 3 ayat 1 UU BPHTB. Bahkan hingga saat ini belum terdapat ketentuan perpajakan yang secara jelas menyebutkan tentang aset wakaf yang bukan berupa tanah dan bangunan, seperti uang atau benda bergerak lainnya. Keberadaan peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pajak atas wakaf sangat mendesak untuk segera diwujudkan.
Peluang penerapan pajak pada lembaga wakaf sebetulnya cukup luas. Penerapan pajak dapat dilakukan terhadap aset wakaf yang sudah diproduktifkan dan memiliki nilai tambah dengan mengenakan tingkat pajak yang rendah. Selain itu, penerapan pajak juga dapat dilakukan untuk hasil investasi wakaf uang dan wakaf tanah yang belum disertifikasi. Walaupun demikian, pemberlakuan pajak untuk lembaga wakaf diharapkan selaras dengan adanya pemberian insentif. Hal ini ditujukan agar aset wakaf dapat tumbuh secara cepat sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pun akan semakin luas.
Di sisi lain, pemberlakuan pajak untuk lembaga wakaf juga akan berpotensi menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya literasi baik dari lembaga wakaf ataupun dari petugas pajak tentang aturan terkait perpajakan dan mengenai wakaf itu sendiri merupakan tantangan pertama yang harus dihadapi. Nining menjelaskan bahwa dalam acara FGD mengenai wakaf dan perpajakan yang diselenggarakan oleh WaCIDS belum lama ini, ia menemukan fakta bahwa petugas perpajakan sendiri baru mengetahui jika bentuk wakaf tidak terbatas pada tanah atau bangunan saja, melainkan dapat berupa aset lain seperti uang atau aset bergerak lainnya. Selain itu, sumber daya manusia yang dimiliki oleh lembaga wakaf juga belum memiliki kapasitas mumpuni dan masih kurang memahami terkait peraturan perpajakan atas aset wakaf. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, maka sosialisasi terkait pajak dan wakaf sangat penting untuk dilakukan agar pengetahuan dari pihak nazhir dan petugas pajak bisa merata dan keduanya dapat saling memahami mengenai aturan-aturan yang berlaku mengenai pajak dan wakaf.
Tantangan terakhir dalam penerapan insentif pajak untuk lembaga wakaf adalah terkait kemungkinan adanya moral hazard. Moral hazard yang dimaksudkan adalah niat buruk seseorang untuk memanfaatkan peraturan yang ada guna menghindari pengenaan pajak. Moral hazard dalam perpajakan mencakup tax evasion, tax avoidance, dan tax planning. Tax evasion adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghindari beban pajak terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan, seperti wajib pajak tidak melaporkan aset yang dimiliki agar beban pajak yang dikenakan menjadi lebih kecil. Tax avoidance adalah perilaku wajib pajak yang berusaha memanfaatkan celah yang ada dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi beban pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Perilaku ini masuk kedalam zona abu-abu (grey area), karena pelaku hanya memanfaatkan celah pada peraturan perpajakan tanpa melanggarnya. Meskipun demikian, perilakunya dapat mempengaruhi pendapatan dari sektor pajak. Tax planning adalah perilaku wajib pajak yang berusaha meminimalkan beban pajak terutang dengan memanfaatkan skema pengurangan/pemotongan pajak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Perilaku ini boleh dilakukan karena tidak melanggar hukum. Selain itu, pemberian insentif pajak untuk lembaga wakaf juga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab guna mengurangi beban pajak terutangnya, yaitu dengan cara melaporkan aset yang dimilikinya sebagai aset wakaf.
Oleh: M Sena Nugraha Pamungkas & Nining Islamiyah
Kutip artikel ini:
Pamungkas, M.S.N. & Islamiyah, N. (3 April 2022). Dilema Sinergi Wakaf dan Pajak: https://wacids.or.id/2022/04/03/dilema-sinergi-wakaf-dan-pajak/
Categories: Berita
Tags: #Kebaikan Wakaf WaCIDS wakaf wakaf dan pajak wakaf indonesia
Optimalisasi wakaf hutan dapat memulihan kawasan kritis atau daerah gundul yang berpotensi mendatangkan bencana.
Begitulah pernyataan Lukman Hamdani dalam Global Waqf Conference 2021 diprakarsai oleh Islamic International University of Malaysia (IIUM) berkolaborasi dengan Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS) dan lembaga lain pada tanggal 1-2 Desember 2021. Lukman menyebutkan kolaborasi program filantropi yang mendukung isu-isu lingkungan seperti wakaf hutan adalah sangat inovatif.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan selama kurun waktu 20 tahun terakhir, Indonesia mengalami berbagai bencana yang didominasi sebesar 98 persen oleh bencana hidrometeorologis, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan diikuti oleh cuaca ekstrim. Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup menjadi faktor dominan yang mengakibatkan berbagai bencana ekologis. Sebagai contoh, Aceh pada tahun 2018 kehilangan lahan hutan sebesar 15.140 hektar dan tahun 2019 sebesar 15.071 hektar. Artinya, setiap tahun Indonesia kehilangan lahan hutan yang berfungsi sebagai penghasil oksigen atau paru-paru dunia.
Optimalisasi wakaf hutan akan dapat terealisasi melalui beberapa cara. Pertama, melibatkan berbagai elemen masyarakat diantaranya pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Kedua, kolaborasi dan sinergi program-program lingkungan dan wakaf antara lembaga filantropi seperti badan wakaf maupun zakat, organisasi/lembaga lingkungan serta masyarakat. Ketiga, wakaf musytarak diharapkan menjadi solusi pendanaan berkelanjutan di sektor pendidikan serta mempromosikan profesionalisme, peningkatan nilai moral dan pengembangan karakter dari tenaga pendidik dan siswa/mahasiswa. Dengan beberapa cara tersebut diharapkan optimalisasi wakaf hutan dapat menjaga kelestarian alam dan mengurangi dampak masalah iklim dan bencana khususnya di Indonesia.
Hutan Jantho di Aceh merupakan salah satu miniatur wakaf hutan adat yang dapat dijadikan sebagai benchmarking dalam upayanya menjaga kelestarian alam dan implementasi filantropi Islam yaitu wakaf. Wakaf hutan tersebut mampu memberikan dampak yang luar biasa terhadap lingkungan, dimana berawal dari dibelinya lahan kritis sebesar 1 hektar kini menjadi 5 hektar. Upaya yang dilakukan melalui penanaman dan penghijauan (reboisasi) dengan tanaman yang dapat menghasilkan buah-buahan seperti durian dan nangka. Adanya inovasi bentuk dan peruntukkan wakaf menjadikannya berkembang secara produktif serta menjadi solusi bagi isu-isu sosial ekonomi serta lingkungan. Sebab, wakaf sebagai instrumen filantropi memberikan nilai dan manfaat bagi kehidupan termasuk lingkungan alam.
Oleh: Putri Maulidiyah & Rofiul Wahyudi
Kutip artikel ini:
Maulidiyah, P & Wahyudi, R. (29 Maret 2022). Mendorong Kelestarian Alam dan Kawasan Kritis melalui Optimalisasi Wakaf Hutan: https://wacids.or.id/2022/03/29/mendorong-kelestarian-alam-dan-kawasan-kritis-melalui-optimalisasi-wakaf-hutan/
Categories: Berita
Tags: #globalwaqfconferenceWaCIDSwakafwakaf hutanwakaf indonesia
Sebagai negara maritim, Indonesia menghadapi berbagai dinamika dalam menjaga ekosistem laut termasuk dalam pendanaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Populasi umat Muslim di Indonesia cukup tinggi, sehingga inovasi keuangan sosial berbasis syariah seperti wakaf diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan kemaritiman melalui integrasi dengan Blue Sukuk.
Wakaf banyak dipahami sebatas berbentuk masjid, madrasah dan makam. Akan tetapi, konsep wakaf sebenarnya dapat diproduktifkan dalam berbagai sektor strategis. Inovasi konsep wakaf terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan pengembangan pemikiran para penggiat wakaf. Agenda 9th Global Waqf Conference pada tahun 2021 memfasilitasi para penggiat wakaf dari berbagai negara untuk menyajikan beragam konsep inovasi wakaf dari perspektif yang berbeda. Salah satu konsep wakaf yang menarik perhatian adalah Cash Waqf Linked Blue Sukuk (CWLBS) for Suistainable Marine Ecosystem – A Conceptual Model yang disajikan oleh Lu’liyatul Muthmainah dan tim WaCIDS yang berasal dari Indonesia.
Indonesia merupakan negara maritim dan tidak terlepas dari berbagai masalah seperti polusi, limbah pabrik dan sampah plastik. Konsep CWLBS diharapkan mampu menjadi solusi keberlangsungan ekosistem laut. Model wakaf tersebut merupakan integrasi dari CWLS (Cash Waqf Link Sukuk) yang telah digagas oleh pemerintah Indonesia dan Blue Sukuk yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) tepatnya SDG 14 (ekosistem laut).
Wakaf uang di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar mencapai Rp180 triliun. CWLS merupakan salah satu inovasi instrumen keuangan syariah dengan integrasi wakaf uang dan sukuk sebagai alternatif investasi bagi para nazhir (lembaga wakaf) dalam mengelola wakaf untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui program pemberdayaan atau sosial lainnya. Blue sukuk merupakan salah satu instrumen pembiayaan keuangan syariah yang fokus pada kegiatan bisnis pelestarian ekosistem laut.
CWLS yang telah diluncurkan pemerintah memiliki tren meningkat dan didominasi oleh wakif generasi milenial. Namun demikian, CWLS saat ini belum memiliki program spesifik untuk mauquf ‘alaih dari pengembangan sektor strategis berbasis wakaf. Model CWLBS yang diusulkan ini melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Wakaf Indonesia. Sama halnya dengan CWLS, model ini juga melibatkan Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menghimpun wakaf uang dari wakif (orang yang berwakaf) serta menerbitkan Akta Ikrar Wakaf dan Sertifikat Wakaf Uang.
Perbedaan model CWLBS yang dipaparkan dengan CWLS sebelumnya adalah selain fokus pada sektor ekosistem laut, juga pada kemudahan dengan adanya lembaga financial technology (fintech) untuk mempermudah akses masyarakat berkontribusi sebagai wakif melalui CWLBS. Mauquf ‘alaih pada CWLBS ini juga fokus untuk program konservasi ekosistem laut, pesisir, dan pemberdayaan para nelayan. Nazhir juga dapat bekerjasama dengan program Kampus Merdeka melalui mahasiswa yang melakukan pengabdian masyarakat untuk menyalurkan manfaat wakaf kepada para mauquf ‘alaih. Pengembangan wakaf ini sejalan dengan program kerja Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia.
“Tujuan akhir dari model wakaf yang kami usulkan adalah untuk menjaga keberlangsungan dan kesejahteraan ekosistem laut dan pesisirnya, meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berkontribusi wakaf uang melalui platform digital, memberdayakan masyarakat lokal dipesisir pantai. Terakhir kami berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi kebijakan pemerintah dan stakeholder dalam dunia perwakafan” tegas Lu’liyatul Mutmainnah pada akhir pemaparan presentasinya.
Oleh: Junarti, Lu’liyatul Mutmainah, dan Farokhah Muzayinatun Niswah
Kutip artikel ini:
Junarti, Mutmainah, L., Niswah, F.M. (20 Maret 2022). Cash Waqf Linked Blue Sukuk (CWLBS): Inovasi Wakaf untuk Keberlangsungan Ekosistem Laut: https://wacids.or.id/2022/03/20/cash-waqf-linked-blue-sukuk-cwlbs-inovasi-model-wakaf-dari-gabungan-cash-waqf-link-sukuk-dan-blue-sukuk%ef%bf%bc/
Categories: BeritaUncategorized
Tags: blue sukukconceptual waqfCWLSglobal waqf conferenceWaCIDSwakaf indonesiawakaf maritim
Kolaborasi wakaf dan takaful menjadi peluang besar dalam upaya pengembangan dan penguatan Islamic social finance pada sektor strategis, khususnya pada net zero economy. Sebagai tindak lanjut webinar Urgensi Kolaborasi Wakaf dan Takaful, kolaborasi antara WaCIDS dan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Malaysia, maka WaCIDS mengadakan Focus Group Discussion pada Ahad, 7 November 2021 sebagai upaya dan kontribusi untuk mengidentifikasi Peluang dan Tantangan Kolaborasi Wakaf dan Takaful, khususnya di Indonesia.
Irfan Syauqi Beik selaku perwakilan Badan Wakaf Indonesia sangat mendukung inovasi terkait kolaborasi wakaf dan takaful atau disebut WAKAFUL. Inovasi model WAKAFUL menjadi sangat relevan untuk diterapkan di era saat ini melalui penguatan literasi, peningkatan kesadaran religiusitas masyarakat, serta penguatan sinergitas antar perusahaan asuransi syariah.
Tidak hanya pada ranah penguatan Islamic social finance, WAKAFUL sangat berpotensi dan dibutuhkan untuk menjadi game changer dalam ekonomi net zero. Muhaimin Iqbal selaku inisiator Gerakan Green Waqf menyampaikan bahwa climate change menjadi permasalahan global hari ini, sehingga solusi penghijauan menjadi topik utama yang perlu didukung untuk menjawab isu perubahan iklim dan ketersediaan energi. Jika dikaitkan dengan WAKAFUL, asuransi berperan strategis dalam mengalokasikan dana kontribusi yang terkumpul untuk membiayai penanaman pohon, maupun digunakan untuk menjamin risiko yang kemungkinan terjadi (kebakaran hutan, longsor, dan sebagainya).
Delil Khairat, praktisi Reasuransi Swiss Re, berpendapat bahwa WAKAFUL sangat relevan dieksplorasi ke berbagai area strategis mengingat sifatnya yang risk sharing. Takaful pun perlu berinovasi dalam mendukung agenda wakaf menjadi mainstream dalam perekonomian. Pada sebagian market, takaful masih memposisikan diri sebagai subset yang cenderung “menjiplak” produk asuransi konvensional, padahal kolaborasi takaful dengan instrumen filantropi khususnya wakaf berpotensi besar dalam pengembangan takaful.
Sejalan dengan itu, pelaku industri asuransi konvensional mengaku tidak mampu mengelola risiko kerugian yang terus meningkat setiap tahun karena protection gap yang semakin besar. Penyebab dari protection gap tersebut salah satunya adalah climate and natural disaster, termasuk climate change. Sudah saatnya takaful memposisikan diri sebagai gerakan back to basic dengan solusi berbasis filantropi atau tolong-menolong, seperti pada penerapan Net Zero Bancassurance yang memaksa industri untuk patuh pada Net Zero Policy dengan membersihkan portofolio asuransi dari risiko yang berkontribusi besar pada emisi global, contohnya portofolio proyek batu bara. Solusi lain adalah melakukan reduksi karbon, dengan cara switch ke teknologi yang eco-friendly dan renewable.
Dengan demikian, gerakan Green Waqf relevan sebagai kompensasi untuk investasi bagi perusahaan dalam upaya mengurangi emisi karbon industri dan mencapai net zero. Solusi menghijaukan kembali lahan kritis jauh lebih sustainable daripada penggunaan teknologi canggih untuk mereduksi emisi karbon, sehingga perlu adanya sinergi antar berbagai pihak, termasuk regulator.
Mendukung pendapat di atas, Jamil Abbas sebagai perwakilan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menegaskan perlu adanya kontrol masyarakat yang optimal dalam gerakan WAKAFUL. Perwakilan pihak Nazir, Rayan Asa (Lembaga Wakaf Al-Azhar) turut menjelaskan perlu adanya perlindungan polis asuransi pada pengelolaan aset wakaf, selain penguatan literasi nazir terkait asuransi dengan kajian maupun diskusi untuk memperdalam pengetahuan sebelum masuk ke ranah implementasi. Hal tersebut harapannya dapat didorong melalui program Merdeka Belajar untuk memenuhi kebutuhan industri terhadap lulusan Perguruan Tinggi yang kompeten dan berkontribusi di sektor wakaf.
“Yang dibutuhkan sekarang adalah peradaban hijau. Skema takaful berperan vital dalam memproteksi aset wakaf. Sekarang waktunya gerakan wakaf bicara dan bangkit dengan bahasa kaumnya, untuk menunjukkan keunggulan kita.” Tutup Muhaimin Iqbal.
Oleh: Iffah Hafizah, Lu’liyatul Mutmainah, Diana Nurindrasari
Kutip artikel ini: Hafizah, I., Mutmainnah, L., Nurindrasari, D. (13 Maret 2022). Wakaf-Takaful (WAKAFUL): Game Changer dalam Net Zero Economy: https://wacids.or.id/2022/03/13/wakaf-takaful-wakaful-game-changer-dalam-net-zero-economy/
Categories: Berita
Profesionalitas dalam beramal adalah wujud dari konsep Ihsan tercermin dalam kebaikan wakaf yang berkelanjutan. Dalam Surat Ali-Imran ayat 92 menerangkan bahwa seorang muslim tidak akan mendapatkan kebaikan yang paripurna hingga menginfakkan apa yang dicintainya. Puncak kebaikan tersebut salah satunya terdapat dalam praktik wakaf. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Eng Saiful Anwar yang merupakan Direktur Pasca Sarjana ITB Ahmad Dahlan dalam agenda Webinar series kedua berjudul “Pengembangan Model Wakaf Produktif Muhammadiyah” pada 19 Februari 2022.
Agenda tersebut merupakan kolaborasi antara Majelis Wakaf dan Kehartabendaan PP Muhammadiyah, ITB Ahmad Dahlan Jakarta, CSAS ITB-AD, Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS), dan Green Waqf dengan menghadirkan Ir. Muhaimin Iqbal selaku inisator Gerakan Green Waqf, Dr. Lisa Listiana, S. E., M.Ak selaku Direktur WaCIDS sekaligus Koordinator gerakan Green Waqf, serta Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM. selaku Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Muhammadiyah.
Ir. Muhaimin Iqbal dalam materinya menegaskan bahwa dewasa ini kebutuhan masyarakat semakin berkembang. Kebutuhan terhadap energi menjadi kebutuhan dominan di samping kebutuhan dasar lainnya. Di sisi lain, ketersediaan energi yang ada pada saat ini diperkirakan akan habis dalam 10 tahun ke depan. Oleh karena itu, Gerakan Green Waqf kemudian menjadi solusi model wakaf yang dapat mengatasi kebutuhan energi bersih yang saat ini belum mendapat banyak perhatian. Solusi utama yang ditawarkan oleh Green Waqf adalah melalui pemanfaatan Tamanu atau biasa disebut dengan Pohon Nyamplung. Tamanu dapat tumbuh di tanah kering bahkan di gurun yang membuat potensi skalabilitas dan pertumbuhannya relatif tidak terbatas dengan berbagai manfaat yang dihasilkan dari tumbuhan ini. Hal ini juga sejalan dengan syariat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan tetap menjaga keseimbangan alam.
Potret pendidikan hari ini yang mayoritas pendidikan yang berkualitas membutuhkan biaya yang besar dan tidak dapat diakses oleh seluruh masyarakat menjadi sebuah isu yang perlu diperhatikan. Dalam Webinar ini Dr. Lisa Listiana juga menekankan urgensi pendidikan gratis dan berkualitas yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut dapat dilakukan dengan skema wakaf mushtarak. Skema wakaf ini memfasilitasi pengelolaan wakaf produktif yang berpotensi untuk mengoptimalisasi pendidikan di Indonesia. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah manajemen yang profesional dan transparan, kontribusi sumber dana wakaf baik dari pihak internal maupun eksternal, serta distribusi manfaat yang kemudian dapat dinikmati oleh seluruh pihak yang terlibat, seperti siswa, guru, staf, bahkan pihak keluarga wakif.
Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM. menegaskan kembali nilai-nilai utama Muhammadiyah yang sangat mendukung upaya-upaya untuk memajukan wakaf produktif di Indonesia. Di antaranya adalah dengan Teologi Al-Ma’un sebagai salah satu upaya pemihakan kepada kaum miskin, terlantar, tertindas baik secara kultural dan struktural, termarjinalkan, dan kepada anak yatim yang jumlahnya cukup masif. Selanjutnya adalah Teologi Al-Ashr yang memberikan solusi secara cepat, rasional, dan berkemajuan. Dr. Mukhaer Pakkanna juga menjelaskan bahwa Islam itu agama solutif dan oleh karena itu perlu gerakan-gerakan nyata, bukan sekedar retorika. Muhammadiyah terus berupaya untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut, salah satunya adalah melalui upaya untuk menjadikan wakaf sebagai gaya hidup masyarakat Indonesia.
Oleh: Fauziah Khanza Andrian & Iskandar Ibrahim
Kutip artikel ini:
Andrian, F.K., & Ibrahim, I. (5 Maret 2022). Green Wakaf, Wakaf Mushtarak, dan Wakaf Produktif Ala Muhammadiyah: https://wacids.or.id/2022/03/05/green-wakaf-wakaf-mushtarak-dan-wakaf-produktif-ala-muhammadiyah/
Categories: BeritaUncategorized
Tags: #KebaikanWakafgreen wakafmuhammadiyahWaCIDSwakafwakaf indonesiawakaf mustarakwakaf produktifwakaf uang
Wakaf merupakan suatu amalan seorang muslim dengan cara memberikan harta terbaik yang dimilikinya dijalan Allah (fii sabilillah). Selain bernilai ibadah, wakaf juga berdimensi sosial. Pelaksanaan wakaf diatur dalam Undang-Undang (UU) No 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 42 Tahun 2006. Kedua perangkat ini mengatur mekanisme dan ketentuan harta wakaf serta pajak.
“Ketentuan pajak yang secara spesifik mengatur wakaf tidak banyak dan pada dasarnya harta benda wakaf tidak dikenakan pajak,” Ungkap Donny Danardono, founder dan partner MDR Law Firm, dalam Waqf Training by WaCIDS #5 dengan topik Wakaf dan Perpajakan (Sabtu, 4 September 2022). Donny kemudian mencontohkan mengenai hal tersebut dalam berbagai aspek perpajakan. Salah satunya adalah dalam PP No. 71 Tahun 2008 disebutkan bahwa keuntungan karena pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada lembaga sosial dikecualikan dari objek pajak dan tidak terutang pada Pajak Penghasilan (PPh). Termasuk dalam pengertian hibah tersebut adalah wakaf. Peraturan Daerah No. 18 tahun 2010 juga menyebutkan bahwa objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf.
Menurut Donny, problematika utama pajak dalam pengelolaan wakaf adalah aset wakaf seringkali tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan wakaf yang berlaku, sehingga tidak dikecualikan dari objek pajak. Kasus yang sering ditemui adalah aset wakaf tidak memiliki sertifikat wakaf atau akta ikrar wakaf yang dibuat oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf yang berwenang. Untuk aset wakaf yang berupa uang maka pengelola wakaf harus memiliki sertifikat wakaf uang yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah. Sedangkan untuk wakaf berupa tanah dan/atau bangunan maka pengelola wakaf harus memiliki sertifikat hak milik wakaf atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Oleh karena itu, dalam menutup pemaparannya Donny menekankan bahwa kemampuan dan pemahaman nazhir secara komprehensif mengenai ketentuan perundang-undangan wakaf dan perpajakan atas wakaf sangatlah penting.
Meski pemerintah memberikan fasilitas bebas pajak untuk wakaf tetapi bukan berarti seluruh aspek dalam pengelolaan wakaf dikecualikan sebagai objek pajak. Sebagai contoh, pendapatan nazhir dari keuntungan pengelolaan wakaf produktif akan tetap dikenakan PPh karena merupakan penghasilan pribadi nazhir. Contoh yang lain adalah keuntungan dari wakaf dalam bentuk saham yang berupa dividen juga akan tetap dikenakan pajak atas dividen tersebut.
Oleh: M Sena Nugraha Pamungkas dan Rofiul Wahyudi
Kutip Artikel ini:
Pamungkas, M. N., & Wahyudi, R. (26 Februari 2022). Retrieved from Wakaf dan Pajak: Nazhir Harus Paham Undang-Undang: https://wacids.or.id/2022/02/26/wakaf-dan-pajak-nazhir-harus-paham-undang-undang/
Categories: Berita
Dunia saat ini sedang berada pada masa transformasi menuju bisnis energi di masa depan.
Hal tersebut disampaikan oleh Bapak Natarianto Indrawan, PhD., praktisi dan peneliti Departemen Energi Amerika Serikat pada webinar reguler Indonesia LPDP Entrepreneur Club (ILEC) dengan tema Indonesia Menuju Mandiri Energi. Pada hari Kamis, 21 Oktober 2021, Inisiator Komunitas ILEC Energy Bisnis ini juga mengemukakan bahwa transformasi menuju bisnis energi ini ditandai dengan adanya global shifting menuju operasi bisnis energi yang lebih fleksibel, didorong oleh energi terbarukan, serta tanpa menggunakan investasi modal yang intensif.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Mukhtasor selaku profesional di bidang energi menambahkan bahwa perlu kemudian menggerakkan kontribusi seluruh masyarakat untuk mencapai kemandirian energi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat tiga istilah untuk memahami ketercapaian pengelolaan energi, yaitu ketahanan energi, kemandirian energi, dan kedaulatan energi. Saat ini, Indonesia masih berada di tahap ketahanan energi yang dicirikan dengan ketersediaan energi (availability), kemampuan untuk membeli (affordability), terbukanya akses untuk pengguna energi (accessibility), serta ketahanan dalam jangka panjang (sustainability). Suatu negara perlu memanfaatkan segala potensi sumber daya alam, manusia, ekonomi, dan sosial secara maksimal untuk mencapai tingkat kemandirian energi, sehingga dapat menjamin ketersediaan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak asing.
Berangkat dari tantangan tersebut, Gerakan Green Waqf menjadi salah satu solusi strategis dalam menggerakkan produksi energi Indonesia berbasis komunitas melalui wakaf hijau. Selain berfokus pada waqf campaign, Gerakan Green Waqf merupakah wadah bertemunya para pegiat wakaf, aktivis lingkungan, serta energi terbarukan untuk berkontribusi bersama dalam menyelesaikan isu-isu perubahan iklim dan ketersediaan energi. Lebih lanjut, Dr. Lisa Listiana, koordinator gerakan Green Waqf, memaparkan bahwa saat ini terdapat lebih dari tujuh belas ribu pulau yang belum dimanfaatkan secara optimal, baik dari segi pemanfaatan pangan dan energi. Faktor pendanaan yang menjadi kendala utama dapat diselesaikan melalui skema wakaf yang digunakan untuk menggerakkan aset-aset produktif dan strategis. Lebih lanjut, Green Waqf berfokus pada pemanfaatan tanaman Tamanu sebagai bahan industri energi, kesehatan, hingga industri berdampak seperti perdagangan karbon, net zero instrument, dan pemberdayaan sosial. Melalui pengoptimalan wakaf di sektor-sektor strategis, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Prof. Mukhtasor juga mengemukakan, “Eksekusi pembangunan negara tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Jangan sampai target kita untuk menuju kemandirian energi melalaikan faktor-faktor lain dalam sustainability, jika hanya emisi karbon yang dikejar tapi masyarakat disuruh membayar listrik yang mahal maka akan muncul ketimpangan. Oleh karena itu perlu kontribusi seluruh masyarakat, khususnya anak muda untuk menggerakkan potensi dalam negeri menuju Indonesia mandiri energi.”
Oleh: Fauziah Khanza Andrian dan Farokhah Muzayinatun Niswah
Kutip artikel ini:
Andrian, F.K., & Niswah, F.M. (19 Februari 2022). Gerakan Green Waqf Menjadi Solusi Strategis dalam Mewujudkan Indonesia Mandiri Energi: https://wacids.or.id/2022/02/19/gerakan-green-waqf-menjadi-solusi-strategis-dalam-mewujudkan-indonesia-mandiri-energi/
Categories: Berita
Tags: #gerakangreenwaqf#Indonesiamandirienergi#KebaikanWakaf#penghijauanberbasiswakaf#WaCIDS