Sabtu, 22 November 2025 — Fragmentasi sistem dan lembaga, ketidakterhubungan data, serta kapasitas digital nazhir yang belum merata menjadi tantangan besar dalam pengelolaan wakaf nasional. Isu strategis ini menjadi sorotan utama dalam sesi perdana WaCIDS School of Waqf (SoW) Batch 6 yang diselenggarakan setiap sabtu, dari 22 November hingga 13 Desember 2025. Dengan topik “Integrasi Data dan Informasi Antar Lembaga Filantropi” ini, menekankan pentingnya keterhubungan data dan kolaborasi multipihak untuk memperkuat tata kelola serta meningkatkan dampak wakaf di tingkat nasional.
Pada pembukaan SoW Batch 6, dibuka dengan welcoming speech oleh Lisa Listiana, Ph.D., selaku Founder WaCIDS. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa SoW memiliki tema yang berbeda setiap penyelenggaraannya. Hal ini bertujuan untuk memperluas edukasi terkait wakaf sekaligus mempertemukan berbagai pegiat wakaf, dari kalangan mahasiswa, karyawan swasta, nazhir, pemerintah, hingga peneliti, untuk bersama-sama mendorong kemajuan praktik wakaf di Indonesia.
Pada pertemuan pertama, SoW menghadirkan dua narasumber utama. Pemateri pertama, Rahmawati Apriliani, S.E.Sy., M.Si., selaku Direktur Eksekutif WaCIDS, memaparkan kondisi faktual ekosistem wakaf di Indonesia. Ia menyoroti fragmentasi kelembagaan, standar pelaporan dan data nasional yang belum tersedia, serta kapasitas digital nazhir yang belum merata sebagai tantangan besar dalam pengelolaan wakaf nasional. Ia menggarisbawahi gap yang sangat lebar antara potensi wakaf yang begitu besar dengan realisasinya di lapangan. Selain itu, ia juga menyampaikan tentang praktik-praktik kolaborasi wakaf dengan berbagai pihak.
Lebih lanjut, ketidakterhubungan data dan sistem informasi tersebut membuat kolaborasi program antar lembaga berjalan secara parsial. Lembaga zakat, nazhir wakaf, CSR, dan NGO bekerja sendiri-sendiri dengan standar pelaporan yang tidak seragam. Akibatnya, potensi sinergi multipihak sulit diwujudkan dan dampak wakaf tidak dapat diukur secara akurat pada level nasional. Ia menegaskan bahwa integrasi data diperlukan untuk mencegah double targeting, mengoptimalisasi aset wakaf, meningkatkan transparansi, serta mempercepat proses monitoring dan evaluasi berbasis data.
Pemateri kedua, Prof. Amelia Fauzia, Ph.D., Direktur Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyoroti hubungan erat antara wakaf dan dengan SDGs. Menurutnya, wakaf sebagai instrumen filantropi yang sustainable memiliki kontribusi strategis terhadap agenda pembangunan nasional. Selain itu, ia menekankan bahwa Indonesia saat ini tengah memasuki fase transformasi menuju ekosistem wakaf yang lebih produktif, sehingga perlu didukung oleh data yang akurat dan terintegrasi.
Prof. Amelia juga menampilkan berbagai contoh praktik integrasi data wakaf di tingkat global seperti platform myWakaf Malaysia serta sistem digital General Authority for Awqaf Arab Saudi. Berbagai contoh tersebut menunjukkan bahwa digitalisasi dan interoperabilitas data mampu meningkatkan akuntabilitas dan kualitas layanan sosial yang dihasilkan oleh sektor wakaf.
Di Indonesia, Prof. Amelia menyoroti inisiatif platform SatuWakaf oleh BWI sebagai langkah awal menuju konsolidasi data wakaf nasional. Namun ia menegaskan bahwa keberhasilan integrasi data memerlukan kolaborasi menyeluruh dari pemerintah, nazhir, lembaga filantropi, akademisi, dan elemen masyarakat sipil lainnya. “Integrasi data wakaf tidak hanya terkait dengan kebutuhan teknis, tetapi juga komitmen untuk menjaga amanah dan maslahah,” tegasnya.
Agenda hari pertama SoW batch 6 ini membuka ruang diskusi mengenai masa depan ekosistem wakaf Indonesia melalui integrasi data. Selaras dengan tema utama SoW, yakni “Menguatkan Wakaf melalui Kolaborasi Multipihak untuk Perekonomian Indonesia”, sesi ini menegaskan bahwa tata kelola data yang terhubung antar lembaga merupakan titik awal untuk meningkatkan akuntabilitas serta optimalisasi tata kelola aset wakaf.
Selain itu, rangkaian kegiatan SoW akan berlanjut pada hari ke-2 dengan topik “Penguatan Ekonomi Indonesia melalui Inovasi Pengelolaan Wakaf”. Tema ini memperluas diskusi dari aspek integrasi data menuju eksplorasi model-model inovatif dalam pengembangan wakaf, seperti pemanfaatan teknologi digital dan penguatan kemitraan strategis dengan sektor publik maupun privat. Peserta diharapkan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang bagaimana wakaf dapat dioptimalkan sebagai instrumen pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Oleh: Fauziah Khanza Andrian dan Rahmawati Apriliani
Kutip artikel ini: Andrian, F.K. & Apriliani R. (6 Desember 2025). Day 1 School of Waqf Batch 6: Integrasi Data dan Informasi Antar Lembaga Filantropi: https://wacids.org/detailberita/92/2025-12-06/Day-1-School-of-Waqf-Batch-6%3A-Integrasi-Data-dan-Informasi-Antar-Lembaga-Filantropi
Indonesia, dengan hampir 30% tenaga kerjanya berasal dari sektor pertanian, menghadapi paradoks: meski kaya potensi, kedaulatan pangan nasional belum sepenuhnya tercapai. Tantangan mendasar seperti keterbatasan modal, akses teknologi modern, fluktuasi harga, dan konversi lahan pertanian semakin memperparah kondisi ini.
Wakaf pertanian modern menawarkan solusi prospektif melalui pengelolaan profesional yang menyediakan modal, pelatihan, infrastruktur, dan stabilitas harga. Contohnya, program Dompet Dhuafa di Sukabumi mampu membuka 100 lapangan kerja pada 50 hektar lahan, meningkatkan pendapatan petani hingga Rp7–10 juta per panen, memutus praktik ijon, serta—seperti di Cirangkong, Subang—menguatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan dhuafa lewat komoditas hortikultura.
Di ranah pertanian ramah lingkungan, inovasi wakaf semakin berkembang. Yayasan Bumi Langit di Yogyakarta menggagas pertanian regeneratif permakultur di atas lahan wakaf seluas tiga hektar, melalui integrasi sistem pertanian, peternakan, dan energi alternatif dalam sebuah ekosistem terpadu, mereka menyulap lahan terlantar menjadi kebun produktif sekaligus pusat edukasi lingkungan dan pertanian berkelanjutan.
Pendekatan profesional dan inklusif lainnya diterapkan oleh Yayasan Mutiara Qolbu Indonesia. Yayasan ini mengidentifikasi potensi lahan wakaf, menerapkan teknologi seperti irigasi tetes, pupuk organik, dan varietas tahan ekstrem. Hasil panen sebagian didistribusikan ke anak yatim dan dhuafa, sebagian lagi dijual untuk mendukung keberlanjutan operasional serta aktivitas sosial Yayasan.
Secara kelembagaan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mendorong pengembangan model pembiayaan pertanian berbasis wakaf. Pada Februari 2024, BWI mengusulkan skema integratif yang melibatkan nazhir (pengelola wakaf), off-taker/pembeli siaga, dan kelompok tani. Skema ini mencakup studi kelayakan, mitigasi risiko melalui asuransi syariah, dana cadangan, hingga restrukturisasi pembiayaan tanpa bunga, blended dengan dana zakat, infaq, dan sedekah.
Sinergi wakaf pertanian modern dengan teknologi mutakhir juga semakin penting. Teknologi seperti IoT, UAV (drone) untuk pemantauan dan penyemprotan, serta sistem digital berbasis blockhain dan smart contract terbukti mampu meningkatkan efisiensi produksi.
Hal ini menunjukan bahwa integrasi aspek sosial-ekonomi, teknologi, dan institusional melalui wakaf pertanian modern berpotensi besar mendukung kedaulatan pangan Indonesia. Model-model seperti Dompet Dhuafa, Bumi Langit, dan Mutiara Qolbu menjadi contoh konkret bahwa aset wakaf tidak hanya menyentuh zakat dan fasilitas umum, tapi bisa diubah menjadi motor pertumbuhan pangan berkelanjutan. Pendekatan permakultur membuktikan manfaat ekologis serta edukatif, sedangkan pembiayaan inklusif memperkuat kesejahteraan petani dan stabilitas pasar.
Oleh: Azian Erdawati dan Faizatu Almas Hadyantari
Kutip artikel ini: Erdawati, A. & Hadyantari, F.A. (23 November 2025). Wakaf Pertanian Modern: Strategi Mewujudkan Kedaulatan Pangan 2045: https://wacids.org/detailopini/79/2025-11-23/Wakaf-Pertanian-Modern%3A-Strategi-Mewujudkan-Kedaulatan-Pangan-2045
Referensi:
Lahuri, Setiawan bin, Chania Mutia Wardani, and Ainun Amalia Zuhroh. “Wakaf Pertanian Sebagai Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan (Studi Survei: Yayasan Perluasan Dan Wakaf Pondok Modern Gontor).” Al-Awqaf: Jurnal Wakaf Dan Ekonomi Islam 18, no. 1 (2025): 2025.
Lubis, Deltha Airuzsh. “Produktivitas Tenaga Kerja Pertanian Dan Industri Pengolahan: Lesson Learned Pandemi Covid-19.” Jurnal Manajemen STIE Muhammadiyah Palopo 7, no. 2 (2021): 45. https://doi.org/10.35906/jurman.v7i2.892.
Puspitasari, Nita, Norma Rosyidah, and Syaifudiin Syaifudiin. “Pemberdayaan Dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah Dan Wakaf).” International Conference on Islamic Economic (ICIE) 3, no. 1 (2024): 171–86. https://doi.org/10.58223/icie.v3i1.282.
Sunjoto, Arie Rachmat, Mulya Fan Tika, Miftahul Huda, and Abdul Latif Rizqon. “‘Pengaruh Pengelolaan Wakaf Produktif Sektor Pertanian Terhadap Pemberdayaan Masyarakat’ Studi Kasus: Yayasan Pemeliharaan Dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Di Mantingan”.” Journal of Islamic Economics and Philanthropy 5, no. 3 (2022): 170. https://doi.org/10.21111/jiep.v5i3.6072.
Uyun, Qurratul. “Zakat, Infaq, Shadaqah, Dan Wakaf Sebagai Konfigurasi Filantropi Islam.” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (2015): 218–34. https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.663.
Gagasan Franchise Waqf Fund menekankan pada pemanfaatan dan pengelolaan wakaf uang produktif yang dapat diaplikasikan oleh para nazir wakaf yang ada di Indonesia sehingga dapat memberikan kebermanfaatan dua arah yakni pada pemberdayaan masyarakat melalui upaya pembantuan pembukaan bisnis serta pengembangan bisnis pada UMKM. Dalam skema Franchise Waqf Fund, terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam program ini dengan rincian sebagai berikut:
1. Wakif
Wakif merupakan pihak yang berwaqaf baik berupa perseorangan maupun kelompok yang dalam program ini dikhususkan pada wakif yang berwakaf dalam bentuk wakaf uang.
2. LKS PWU
Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) merupakan bank syariah yang sudah resmi terdaftar untuk menjadi LKS PWU.
3. Nazhir
Nazhir pada program ini merupakan pihak yang menjaga, mengelola serta menyalurkan harta wakaf uang yang sudah terdaftar di Badan Wakaf Indonesia.
4. Franchisor UMKM
Franchisor merupakan pemilik usaha yang bertindak sebagai pemberi waralaba (franchise). Franchisor yang dilibatkan dalam program ini adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sudah memiliki izin waralaba dan memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Penyelenggaraan Waralaba Nomor 31 Tahun 2008.
5. Franchisee
Franchisee merupakan pihak penerima waralaba (franchise) yang mana pada program ini calon franchisee yang mengajukan dirinya dapat berupa perorangan maupun sekelompok orang yang pada target kami adalah masyarakat pengangguran usia produktif yang ingin membuka usaha waralaba (franchise) kategori UMKM.
Skema Program Franchise Waqf Fund
Sumber : Penulis
Keuntungan bagi para franchisor UMKM berupa initial fee, royalty fee, serta pengembangan skala usaha. Sedangkan bagi franchisee, keuntungan yang didapat adalah bantuan modal, pelatihan dan pendampingan usaha serta profit margin.
Bagi nazir wakaf, skema ini memberikan bagian keuntungan dari pembiayaan mudharabah kepada pelaku usaha, sedangkan LKS-PWU memperoleh ujrah atas pengelolaan rekening wakaf. Sebagian hasil pengelolaan tersebut juga disalurkan kepada penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih) melalui program sosial, sehingga manfaatnya terdistribusi dengan luas ke berbagai sektor ekonomi dan masyarakat.
Inovasi seperti Franchise Waqf Fund menunjukkan potensi besar dalam mengembangkan wakaf uang secara produktif yang selama ini belum banyak dimanfaatkan, khususnya untuk mendukung pembiayaan sektor UMKM berbasis franchise. Model ini membuka jalan baru bagi pengelolaan wakaf yang lebih produktif, berkelanjutan, dan optimal.
Oleh: Muhammad Rizky Ramadhan dan Faizatu Almas Hadyantari
Kutip artikel ini: Ramadhan, M.R., & Hadyantari, F.A. (4 November 2025). Franchise Waqf Fund: Model Inovatif Pengelolaan Wakaf Uang Produktif: https://wacids.org/detailopini/78/2025-11-04/Franchise-Waqf-Fund%3A-Model-Inovatif-Pengelolaan-Wakaf-Uang-Produktif
Indonesia memiliki potensi aset wakaf senilai ribuan triliun rupiah, namun sebagian besar berupa tanah dan properti masih menjadi aset beku yang tidak produktif. Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat potensi aset wakaf mencapai Rp2.000 triliun, dengan luas tanah wakaf lebih dari 420 ribu hektare.
Sebagian besar aset wakaf strategis masih terbengkalai akibat kendala administrasi, keterbatasan kapasitas nazir, dan minimnya modal pengembangan. Akibatnya, aset yang seharusnya menjadi sumber kebaikan abadi justru tertidur dan belum mampu memberi manfaat ekonomi serta sosial yang berkelanjutan bagi umat.
Tokenisasi menawarkan solusi konkret untuk 'mencairkan' aset wakaf yang selama ini beku. Konsep ini merepresentasikan aset fisik, seperti sebidang tanah atau bangunan, menjadi unit-unit digital (token) yang tercatat di blockchain. Setiap token mewakili sebagian kecil kepemilikan atau hak manfaat atas aset tersebut, yang kemudian dapat ditawarkan kepada publik.
Skema token memungkinkan penggalangan dana wakaf secara kolektif dan fraksional, di mana masyarakat dapat berpartisipasi sesuai kemampuan finansialnya. Model ini menjadikan filantropi lebih inklusif dan memungkinkan ribuan orang bersama-sama mendanai proyek wakaf bernilai besar, sehingga amal jariyah menjadi lebih demokratis dan mudah diakses.
Keunggulan utama teknologi ini terletak pada pilar transparansi dan keamanan yang kokoh. Blockchain berfungsi sebagai buku besar digital terdesentralisasi yang mencatat setiap transaksi secara permanen, kronologis, dan tidak dapat diubah atau dimanipulasi. Hal ini secara signifikan meningkatkan kepercayaan publik karena seluruh alur dana, mulai dari pengumpulan modal hingga pemanfaatan aset, dapat diaudit oleh siapa saja secara real-time.
Pemanfaatan smart contract memungkinkan distribusi hasil aset wakaf berjalan otomatis dan transparan sesuai ikrar wakif. Misalnya, keuntungan dari penyewaan gedung wakaf yang dibangun dari dana tokenisasi dapat secara otomatis disalurkan kepada para penerima manfaat yang telah ditentukan sesuai ikrar wakaf, memastikan amanah wakif terlaksana secara presisi dan tanpa celah intervensi manusia.
Dengan demikian, “Tokenisasi Jariyah” tidak sekadar mendigitalkan aset, tetapi membangun ekosistem filantropi yang efisien, akuntabel, dan berdampak luas. Inovasi ini berpotensi menghidupkan aset wakaf bernilai triliunan rupiah menjadi aliran amal produktif yang berkelanjutan, sekaligus merevolusi pengelolaan wakaf nasional di era digital.
Oleh: Yesrun Eka Setyobudi, Faizatu Almas Hadyantari dan Syifa Nur Fauziyah
Kutip artikel ini: Setyobudi, Y.E., Hadyantari, F.A., & Fauziyah, S.N. (24 Oktober 2025). Dari Aset Beku ke Aset Bernilai: Inovasi Tokenisasi Jariyah untuk Wakaf Produktif: https://wacids.org/detailopini/77/2025-10-24/Dari-Aset-Beku-ke-Aset-Bernilai%3A-Inovasi-Tokenisasi-Jariyah-untuk-Wakaf-Produktif
Referensi:
Badan Wakaf Indonesia. (2019). Potensi Aset Wakaf. Diakses dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu.
Mahendra, B. A. (2023). Analisis Strategi Pengembangan Teknologi Blockchain sebagai Media Transparansi Wakaf di Badan Wakaf Indonesia. Skripsi, Universitas Islam Sultan Agung.
Setiawan, A. (2022). Application of Blockchain and Smart-Contract on Waqf Asset Management: Is It Necessary?. El Dinar, 10(2).
Warsiyah, et al. (2024). Wakaf Berbasis NFT (Non-Fungible Token): Inovasi dan Tantangan dalam Filantropi Digital. Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Manajemen.
Septianda, et al. (2022). Fungsi Blockchain. Dikutip dalam Setiawan bin Lahuri & Alya Zhafirah Nasywa, (2024), Penerapan Teknologi Blockchain untuk Meningkatkan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Wakaf. Jurnal Sosmaniora.
Budiantoro, R. A., et al. (2020). Waqf Blockchain Untuk Pengadaan Alat Kesehatan Penanganan Covid-19: Studi Konseptual. Ziswaf: Jurnal Zakat Dan Wakaf, 7(2).
Upaya membangun tata kelola keuangan yang berkelanjutan dan inklusif semakin menegaskan relevansi keterkaitan antara wakaf sebagai instrumen keuangan sosial Islam dengan Taskforce on Nature-related Financial Disclosures (TNFD) sebagai kerangka tata kelola lingkungan global.
Berasal dari dua paradigma berbeda, keduanya mempunyai tujuan yang saling melengkapi yaitu keberlanjutan sumber daya dan kemaslahatan umat. Namun, diskursus ilmiah yang mengintegrasikan kedua kerangka ini masih terbatas, khususnya pada konteks negara berkembang seperti Indonesia, meski peluang kolaboratifnya sangat besar.
Kerangka konvergensi ini didukung adanya regulasi wakaf di Indonesia melalui UU No. 41/2004, PP No. 42/2006, dan aturan BWI. Serta, diperkuat dengan kebijakan keuangan hijau pada RPJMN 2020–2024, Perpres No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, serta Taksonomi Hijau OJK (2022). Sehingga, membuka peluang strategis bagi penguatan kebijakan green Islamic finance.
Sejalan dengan hal tersebut, potensi wakaf uang diperkirakan telah mencapai lebih dari Rp 180 triliun per tahun, meski pemanfaatannya masih belum optimal (Badan Wakaf Indonesia, 2023). Disisi lain, TNFD (2024) mendorong transparansi lembaga keuangan dan korporasi dalam mengungkapkan ketergantungan, dampak, risiko, dan peluang terkait alam. Konvergensi keduanya dapat membangun kerangka tata kelola alamiah yang mengedepankan akuntabilitas lingkungan, keberlanjutan sosial, dan penguatan resiliensi ekosistem lokal.
Inovasi digital WaPNav (Wakaf Produktif Navigation) yang memanfaatkan WebGIS dan ArcGIS StoryMaps menjadi contoh praktik baik dalam memetakan wakaf produktif secara spasial. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip TNFD tentang location-specific disclosure, sehingga membuka peluang pengelolaan wakaf yang lebih ekologis, transparan, dan berbasis data.
Konvergensi TNFD dan wakaf produktif dapat diterjemahkan dalam empat pilar kebijakan:
Implementasi kerangka yang strategis dan sistematis dapat mengoptimalkan aset wakaf secara produktif dan transparan, sekaligus menyelaraskan keuangan sosial Islam Indonesia dengan kebijakan global menuju nature-positive economy. Langkah ini mendukung pembangunan berkelanjutan, memperkuat posisi Indonesia dalam agenda green finance G20 dan UNDP (2023), serta memaksimalkan peran wakaf bagi pemberdayaan umat dan pelestarian lingkungan.
Oleh: Pertiwi Utami, Tulus Suryanto, Umi Khulsum, dan Faizatu Almas Hadyantari
Kutip artikel ini: Utami, P., Suryanto, T., Khulsum, U. & Hadyantari, F.A. (29 September 2025). Konvergensi Wakaf dan TNFD: Peluang Tata Kelola Berkelanjutan dalam Keuangan Sosial Islam: https://wacids.org/detailopini/76/2025-09-29/Konvergensi-Wakaf-dan-TNFD%3A-Peluang-Tata-Kelola-Berkelanjutan-dalam-Keuangan-Sosial-Islam
Referensi:
Badan Wakaf Indonesia. (2023). Potensi dan Pengelolaan Wakaf Tunai di Indonesia. Jakarta: BWI. https://www.bwi.go.id/
Otoritas Jasa Keuangan Syariah (OJK). (2022). Taksonomi Hijau Indonesia Versi 1.0. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan. https://www.ojk.go.id
Taskforce on Nature-related Financial Disclosures. (2024). Recommendations of the Taskforce on Nature-related Financial Disclosures. https://tnfd.global/publication/tnfd-recommendations/
United Nations Development Programme. (2023). Nature Finance Framework: Unlocking Nature-Positive Inverstment in Developing Economies. https://www.undp.org/publications/nature-finance-framework
WaCIDS. (2024). WapNAV: Wakaf Produktif Navigation dan Literasi Berbasis Teknologi. https://wacids.org/detailopini/72/2025-05-31/Wakaf-Produktif-Navigation