Jakarta, wacids.or.id – Setidaknya terdapat tiga urgensi kolaborasi gerakan wakaf dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pertama, ketergantungan Indonesia terhadap produk pangan dan energi impor. Kedua, ketersediaan 14 juta lahan kritis yang tidak berfungsi, dan ketiga terkait dengan target Sustainable Development Goals (SGDs). Pada tahun 2030, seluruh negara akan berlomba-lomba menghadirkan EBT untuk menggantikan energi yang berasal dari tambang. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak Muhaimin Iqbal selaku New Energy 5.0 Ambassador for Indonesia ketika membuka materi dalam FGD bertajuk “Menjajaki Kolaborasi Wakaf dan Energi Baru dan Terbarukan” yang diadakan oleh sebuah lembaga riset dan thinktank independent di sektor perwakafan bernama Waqf Center for Indonesian Development Studies (WaCIDS).
Founder Indonesia Start Up Center, Afteroil, dan Carbon4life ini menyampaikan bahwa tiga kondisi tersebut hendaknya menjadi sinyal bagi pemerintah dan pemangku kepentingann terkait dalam mempersiapkan beragam inovasi guna menyongsong pengadaan energi baru ditahun 2030 mendatang, salah satunya adalah melalui gerakan wakaf energi nasional.
Sependapat dengan usulan tersebut, Pendiri dan Direktur WaCIDS, Lisa Listiana menyampaikan urgensi terlibatnya wakaf dalam sektor EBT. Potensi besar EBT perlu dilihat sebagai peluang dan alternatif investasi dana wakaf yang sesuai dengan karakteristik wakaf. Dengan menginvestasikan dana wakaf di proyek strategis seperti EBT, yang dimasa mendatang akan dibutuhkan oleh semua orang, diharapkan wakaf dapat memberikan kemaslahatan yang lebih berdampak bagi ummat.
Dalam kesempatan tersebut, kandidat Doktor Keuangan Islam penerima Beasiswa Lanjutan LPDP ini membagikan poin-poin penting dari beberapa hasil penelitian terkait. Salah satu hasil penelitian yang terbit di jurnal Q2 menggunakan simulasi Agent Based Model dan membuktikan bahwa skema Waqf Owned Financial Intermediary (WOFI) memungkinkan pengumpulan modal untuk proyek berskala besar. Ketika diaplikasikan pada sektor EBT, penelitian ini secara kuantitatif membuktikan bahwa Philanthropic-Crowdfunding-Partnership (PCP) dapat mengurangi kesenjangan kekayaan.
Menanggapi materi yang disampaikan, para undangan responden ahli di bidang wakaf dan EBT aktif berdiskusi dengan antusias. Indonesia memiliki potensi besar, baik dalam hal wakaf maupun EBT. Kolaborasi antara wakaf dan EBT diharapkan dapat memberikan dampak yang besar untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian bangsa terutama dalam hal pemenuhan energi. Banyak hal yang perlu ditindaklanjuti terkait wakaf dan peluang kolaborasinya dengan EBT.
Salah satu tugas utama dan mendasar yang masih perlu terus dilakukan adalah edukasi dan sosisalisasi wakaf, baik dari wakaf uang, wakaf produktif, hingga kolaborasi wakaf dan EBT mengingat tingkat literasi masyarakat tentang hal ini masih perlu ditingkatkan. Pemahaman masyarakat tentang wakaf dan pengembangan bentuk-bentuk proyek dan objek wakaf, termasuk EBT, akan sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam berwakaf.
Acara yang berlangsung pada hari Rabu, 28 April 2021 ini dilakukan secara daring melalui zoom dan dihadiri oleh pimpinan dan perwakilan lembaga wakaf serta penggiat dan praktisi EBT, diantaranya adalah dari Forum Wakaf Produktif, Dompet Dhuafa, Sinergi Foundation, Lembaga Wakaf Al Azhar, Rumah Wakaf, Wakaf Darul Quran, Cinta Wakaf Indonesia, Wakaf Pro, I Wakaf, Global Wakaf, wakaf tunai Muhammadiyah, Yayasan Wakaf Energi Nusantara, AfterOil, Carbon4Life, dan Mentari Energi.
Diharapkan dari FGD ini, para pihak dan otoritas terkait dapat melakukan tindaklanjut yang diperlukan sesuai kapasitannya dalam berbagi peran mewujudkan Kebaikan Wakaf dan Energi Baru dan Terbarukan untuk Indonesia. Aamiin
Oleh: Suhail, S.E., M.Si.
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Jakarta, wacids.or.id – Berbagai inovasi di sektor perwakafan perlu diiringi dengan penyesuaian kurikulum di Program Studi Manajemen Zakat Wakaf (Prodi MaZaWa). Hal tersebut diperlukan agar kompetensi lulusan Prodi MaZaWa sesuai dengan kebutuhan di sektor perwakafan.
Masukan tersebut disampaikan Pendiri sekaligus Direktur WaCIDS, Lisa Listiana, pada saat menghadiri undangan Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Prodi MaZaWa IAIN Kudus Selasa, 20 April 2021. Menurut beliau, mengingat sentralnya peran pengajar sebagai pihak yang berinteraksi langsung dengan mahasiswa, pembaharuan kurikulum perlu diiringi dengan peningkatan kompetensi pengajar. Dengan kompetensi yang up to date diharapkan dosen dapat mentransfer ilmu yang bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan di lapangan kepada para mahasiswanya.
“Karena wakaf adalah trust-based institution, para pengajar juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan bagi para mahasiswanya. Perlu ada mekanisme proses belajar mengajar yang dapat memupuk sifat amanah para mahasiswanya selama kurang lebih empat tahun masa kuliah jenjang sarjana”, tambahnya.
Masukan ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof Raditya Sukmana, Guru Besar Ekonomi Islam Universitas Airlangga, yang juga menekankan pentingnya peningkatan kemampuan dan kompetensi para dosen dengan mengikuti berbagai pelatihan yang berhubungan dengan zakat dan wakaf. Dalam kesempatan tersebut, Prof Raditya Sukamana mengatakan bahwa Islamic social finance akan terus berkembang dalam beberapa waktu mendatang sehingga kampus perlu memperkenalkan berbagai praktik di lapangan dan bagaimana wakaf berhubungan dengan banyak hal seperti pertanian dan teknologi. Sehingga, selain fikih zakat dan wakaf, topik-topik lain terkait dengan perkembangan wakaf perlu diajarkan kepada mahasiswa. Merdeka belajar sangat bagus, tidak hanya bagi mahasiswa, namun juga untuk para dosen.
FGD Review Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Prodi MaZaWa ini diadakan untuk mereview kurikulum sesuai dengan konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang saat ini mulai dilaksanakan sesuai dengan arahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus untuk mendapatkan pandangan dan masukan dari berbagai stakeholders yang diundang. Membuka acara, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Kudus, Supriyadi dan Kaprodi MaZaWa, Qamar memaparkan kondisi kurikulum, mahasiswa dan hal-hal terkait dalam pembelajaran di FEBI terutama pada Prodi MaZaWa.
Acara yang dihadiri oleh Kaprodi MaZaWa se-Indonesia ini dilaksanakan secara daring dan menghadirkan Noven Suprayogi selaku pemateri. Dalam kesempatan tersebut, beliau menjelaskan tentang kurikulum, tujuan utama suatu Prodi didirikan hingga membahas tentang konsep dan inti dari Kurikulum KKNI, Outcome Based (OBE), dan Merdeka Belajar. Dalam materinya, Mantan Ketua Prodi Ekonomi Islam Universitas Airlangga tersebut juga menjelaskan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan kurikulum adalah bagaimana merumuskan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) yang membumi dan realistis untuk dicapai. Evaluasi secara berkala, minimal setelah 4 tahun atau setelah adanya lulusan juga diperlukan sehingga nanti bisa dilakukan redesain kurikulum jika sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa depan.
Oleh: Gusrianti, S.Pd. M.S.Ak
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Categories: Berita
Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti Waqf Center for Indonesian Development and Studies)
Tidak terasa, bulan suci Ramadhan telah menjelang. Bagi umat Islam di seluruh dunia, momentum Ramadhan ialah saat berkumpul bersama keluarga, merekatkan lagi silaturrahim serta memperkuat kembali ibadah dan hubungan kepada Allah, baik dengan media ibadah puasa, shalat malam, hingga tadarus Alquran. Penguatan ibadah pada bulan Ramadhan tidak terlepas dari tujuan puasa Ramadhan itu sendiri, yang Allah sebutkan di dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 untuk mewujudkan insan yang bertakwa.
Namun demikian, meskipun ibadah selama bulan Ramadhan lekat dengan berbagai ibadah spiritual, sebetulnya bulan Ramadhan lekat dengan ibadah sosial. Hal ini tentunya telah mendapatkan contoh dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas mengatakan bahwa kedermawanan Nabi Muhammad mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan, yang diibaratkan bahkan lebih cepat dari angin sepoi-sepoi. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa kedermawanan Nabi Muhammad lebih cepat dari angin sepoi-sepoi bermakna kedermawanan beliau dirasakan semua orang tanpa diskriminasi dan didorong oleh amalan tadarus Alquran bersama Malaikat Jibril yang juga terjadi di bulan Ramadhan sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sama. Dengan kata lain, semangat spiritualitas yang kuat dan benar akan mendorong seseorang untuk menjadi dermawan kepada siapapun.
Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya tradisi berbagi yang dilakukan masyarakat pada saat bulan Ramadhan, baik dengen menyediakan iftar berbuka di masjid, atau kumpul berbuka bersama kolega di restoran, di rumah berkumpul bersama keluarga besar, maupun berbuka bersama kaum dhuafa. Akan tetapi, pandemi Covid-19 mengubah segala cerita di atas. Penyebaran virus yang begitu cepat di seluruh dunia menjadikan pembatasan kegiatan masyarakat menjadi kebijakan yang umum dilakukan pemerintah. Oleh karena itulah, perkumpulan yang biasa terjadi di bulan Ramadhan menjadi jauh berkurang dibandingkan tahun-tahun berikutnya.
Meskipun demikian, peluang untuk menunjukkan kedermawanan sebenarnya sangat terbuka. Pandemi Covid-19 yang membawa dampak ekonomi yang signifikan berdampak pada banyak orang. Hal ini terutama pada keluarga yang pencari nafkahnya harus dirumahkan atau bahkan diberhentikan sebab lapangan pekerjaan yang banyak berkurang. Hal ini terutama terjadi pada sektor yang terdampak serius seperti pariwisata, transportasi, dan perhotelan. Maka upaya untuk mendorong kedermawanan tetap urgen dilakukan mengingat adanya masyarakat yang masih termarginalisasi akibat pandemi.
Di tengah kondisi di atas, perkembangan teknologi digital yang pesat memungkinkan umat manusia di masa kini untuk melakukan berbagai aktivitas dari rumah. Aktivitas tersebut mencakup kegiatan belajar mengajar di sekolah, berkantor, maupun transaksi belanja dan jasa keuangan yang dapat dilakukan dengan sekali “klik”. Maka tidak heran jika kemudian lahir istilah “Ekonomi Digital”, yang oleh berbagai pihak seperti World Bank dan OECD didefinisikan sebagai ekonomi yang menggunakan internet untuk proses bisnis dari produksi hingga sampai ke pelanggan.
Salah satu sektor ekonomi digital yang meningkat adalah jasa sistem pembayaran. Saat ini, jasa sistem pembayaran tidak lagi hanya terbatas pada uang tunai maupun alat pembayaran berbasis kartu (APMK, seperti kartu debit dan kartu kredit), namun juga mencakup uang elektronik, dompet elektronik, hingga QR-code.
Bank Indonesia (BI) sebagai regulator sistem pembayaran di Indonesia secara serius mendorong transaksi pembayaran berbasis elektronik. Hal ini agar transaksi dapat berjalan lebih efisien dan juga meminimalkan sentuhan kulit pada saat transaksi dengan uang tunai yang rentan menyebarkan virus Covid-19. Selain itu, hal ini juga untuk merespon peningkatan pengguna internet dan platform digital seperti e-commerce, uang elektronik, dan lainnya yang terus meningkat khususnya selama pandemi Covid-19. Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam kesempatan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2021 pada 5 April lalu menyebut transaksi perdagangan digital (e-commerce) diperkirakan akan mencapai Rp 337 triliun pada tahun 2021 ini. Hal tersebut menunjukkan potensi pertumbuhan ekonomi yang besar yang didorong oleh inovasi digital.
BI yang telah mengembangkan QRIS (Quick Response-code Indonesian standard) untuk sebagai media pembayaran non-tunai menargetkan tahun 2021 terdapat 12 juta merchant QRIS, dua kali lipat dari capaian tahun 2020 yang mencapai 6 juta merchant. Salah satu target yang disasar oleh BI untuk penetrasi QRIS adalah lembaga yang menerima filantropi/donasi seperti masjid dan tempat ibadah lainnya, serta lembaga amil zakat dan lembaga pengelola wakaf. Kondisi tersebut sejalan dengan upaya yang dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang menggalakkan digitalisasi zakat dan wakaf. BAZNAS sebelumnya telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk digitaliasasi pembayaran zakat melalui berbagai platform digital. Sementara itu, BWI dalam waktu dekat juga akan meluncurkan Wakaf Super Apps untuk dapat menjangkau masyarakat yang memiliki jiwa sosial dan ingin agar donasinya memiliki manfaat yang berkelanjutan.
Ke depan, perlu ada sinergi yang berkelanjutan antara BI, BAZNAS, BWI, dan berbagai pihak lainnya agar digitalisasi filantropi ini dapat mewadahi semangat kedermawanan dan gotong royong yang dimiliki bangsa Indonesia. Hal ini terutama untuk meningkatkan literasi masyarakat, pengembangan sumber daya manusia yang andal dalam pengelolaan digitalisasi ini, serta optimalisasi program pemberdayaan bagi kaum dhuafa. Selain itu, para dai dan muballigh juga harus dirangkul agar dalam kegiatan dakwahnya juga mendorong masyarakat menggunakan platform digital pada ranah kebaikan. Momentum bulan Ramadhan kiranya perlu dimaksimalkan agar semangat kedermawanan di dalamnya mendorong penguatan digitalisasi untuk membantu sesama.
Artikel ini juga telah dimuat di Republika Online
Categories: Opini
Jakarta, wacids.or.id – Kementerian Agama melalui Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam mengadakan kegiatan “Serap Aspirasi Model Kantor Urusan Agama (KUA) Percontohan Ekonomi Umat” dalam rangka memetakan aksi nasional pengentasan kemiskinan serta mendukung program revitalisasi KUA dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat dan layanan bimbingan zakat dan wakaf.
Acara ini berlangsung selama dua hari, 12-13 April 2021 yang dilakukan secara daring melalui zoom dan luring di hotel Le Meridien Jakarta dihadiri oleh berbagai pimpinan dan perwakilan lembaga zakat serta wakaf, kementrian agama, kementrian desa, kementrian sosial, serta para profesor dan pakar terkait zakat dan wakaf dari berbagai universitas.
Pada hari pertama, acara dimulai dengan pembukaan oleh Dirjen Bimas Islam, lalu dilanjut dengan Sharing Program Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Desa oleh Forum Zakat. Acara dilanjut dengan Program Pemberdayaan Ekonomi Keluarga dari LKK NU. Acara hari pertama diakhiri dengan sharing program Zakat Community Development dari Ibu Tatiek selaku perwakilan BAZNAS, lalu ditutup dengan Diskusi oleh Kasubdit Edukasi, Inovasi dan Kerjasama Zakat Wakaf Kementrian Agama.
Dihari kedua, acara dimulai dengan sharing program Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Desa (BUMDES) yang diisi oleh Nasirudin, AKS,MM selaku narasumber dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. Acara dilanjutkan dengan Sharing Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) oleh Charles Purnama, SS., M.Si. selaku narasumber dari Kementrian Sosial. Acara hari kedua diakhiri dengan Sharing Program Pemberdayaan Ekonomi melalui UMKM dengan narasumber Ir. Irene Swa Suryani, MM dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah lalu ditutup dengan Diskusi oleh Kasubdit Edukasi, Inovasi dan Kerjasama Zakat Wakaf Kementrian Agama.
Suhail, S.E., M.Si dari Waqf Center For Indonesian Development Studies (WaCIDS) menghadiri kegiatan ini atas undangan yang diterima dari Kementrian Agama Republik Indonesia Nomor B-1113/Dt.III.III.II/HM.005/03/2021 tertanggal 6 April 2021. Sebagai lembaga riset dan think tank independen yang fokus di bidang wakaf, WaCIDS berharap kolaborasi antara berbagai pihak terkait dapat ditingkatkan. Termasuk dalam cakupan kolaborasi yang dapat dilakukan adalah untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas Sumber Daya Insani Penyuluh Agama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan demikian, penyuluh KUA yang biasa mengisi di majelis taklim dapat turut meningkatkan pemahaman dan literasi wakaf masyarakat. Berdasarkan Dokumen Rencana Strategis Kemenag 2020-2024, terdapat setidaknya 50.195 Penyuluh Agama Islam PNS dan non PNS di 5.945 KUA seluruh Indonesia. Dengan jumlah penduduk beragama Islam mencapai lebih dari 229 juta, maka rasionya adalah 1: 4.576. Artinya, satu orang penyuluh agama Islam bertugas untuk melayani pertanyaan dari 4.576 masyarakat.
Termasuk dalam tugas penyuluh agama adalah untuk memberikan sosialisasi tentang wakaf kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf, KUA merupakan tempat untuk mengurus berbagai hal administratif terkait perwakafan, termasuk pendaftaran nazhir, pemberhentian nazhir, pendaftaran harta benda wakaf, dan perubahan status harta benda wakaf. Sebagai representasi dari Kemenag yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, idealnya pegawai di KUA beserta para penyuluh memahami seluk beluk wakaf dan berbagai inovasinya hari ini. Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik, pegawai dan penyuluh dapat memberikan informasi dan jawaban yang benar terkait perwakafan kepada masyarakat terkait perwakafan. Hal ini penting mengingat pemahaman masyarakat tentang wakaf, yang diukur dari indeks literasi wakaf, masih tergolong rendah.
Oleh: Suhail, S.E., M.Si.
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Categories: Berita
Umat belum berdaya secara ekonomi di negeri sendiri. Inilah yang menjadi latar belakang Barisan Muda Al Ittihadiyah bekerjasama dengan Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU – MUI), Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS), dan Yayasan Ta’awun Kemanusiaan mengadakan Webinar dengan tema “Pembelaan Umat dengan Instrumen Wakaf Uang.” Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memiliki solusi konkrit atas problematika umat hari ini. Namun sayangnya, solusi seperti wakaf belum dapat dirasakan secara optimal untuk umat.
Narasumber Ir. H. Nuruzzaman selaku ketua KPEU MUI menyampaikan bahwa KPEU MUI tidak sebatas melihat apakah skema suatu instrumen keuangan syariah atau tidak. Menurut beliau, instrumen keuangan termasuk wakaf harus syariah dan harus berdampak kepada umat. Oleh karena itu, keberadaan wakaf uang harus dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Sekjend Al Ittihadiyah melanjutkan, “Jika sesuatu sudah ada aturannya tapi dampaknya tidak ada pada masyarakat, hal ini lebih berbahaya daripada pertanyaan apakah program pemerintah ini masih ada ribanya atau tidak.”
Dalam webinar tersebut, Lu’liyatul Mutmainah S.E., M.Si sebagai Peneliti WaCIDS, sebuah lembaga riset dan thinktank independent dibidang wakaf menekankan tentang perlunya investasi wakaf uang di sektor riil dan sektor strategis agar manfaatnya dapat dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Dosen FEB UIN Sunan Kalijaga ini juga menyampaikan perlunya sinergi antar berbagai pihak untuk merealisasikan hal ini. Menurutnya, termasuk salah satu yang perlu diperhatikan adalah tentang pengawasan dan pelaporan serta manajemen risiko dalam pengelolaan wakaf uang tersebut.
Senada tentang urgensi sinergi, Jabbar Sambudi, S.E. dari Yayasan Ta’awun Kemanusiaan memberikan ilustrasi sinergi yang dapat dilakukan. Sebagai lembaga sosial yang mempunyai program-program yang bersifat sustainable dan berfokus pada perbaikan karakter umat, Yayasan Ta’awun Kemanusiaan menawarkan program Majelis Ta’lim Ekonomi Terpadu yang terdiri dari Master Ayahanda, Master Ibunda dan Master Muda. Dengan program yang berkelanjutan tersebut, umat diharapkan dapat menjadi pemilik industri dari hulu ke hilir melalui wakaf uang yang termobilisasi.
Webinar yang dilakukan secara daring melalui aplikasi zoom ini diharapkan dapat menjadi sinergi berbagai pihak. Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, peneliti, praktisi dan regulator ekonomi syariah. Sinergi adalah silaturahim energi antara para pemangku kepentingan di sektor perwakafan yang hasil akhirnya adalah umat menjadi berdaya tidak hanya dari sisi ekonomi, namun juga berdaya qalbu dan akalnya.
Oleh:Jabbar Sambudi, S.E.
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Artikel di atas telah dimuat di Sharia News dan Redaksi Senayan
Categories: Berita