Waqf Training by WaCIDS #3 Sesi 2
Pemaparan materi dibuka dengan pembahasan studi kasus oleh Agastya Harjunadhi sekaligus pembicara pada training ketiga WaCIDS#3 dengan judul Digitalisasi Lembaga Wakaf. Beliau merupakan penasihat WaCIDS, founder Visi Peradaban Foundation, serta Direktur Utama PT Uridu Global. Kegiatan training kali ini berupa diskusi langsung antara trainer dan peserta training yang dilaksanakan pada hari Minggu, 1 Agustus 2021 melalui platform zoom. Selain diskusi interaktif melalui zoom, peserta training juga diberi kesempatan untuk melakukan diskusi berupa tanya jawab melalui grup Whatsapp pada hari Senin, Rabu, dan Kamis, serta ada pemberian tugas berupa studi kasus untuk memperdalam materi dari pembicara.
Tiga sesi materi dibawakan oleh Bapak Agastya Harjunadhi pada training WaCIDS#3 diantaranya pentingnya digitalisasi kelembagaan wakaf, edukasi dan mobilisasi wakaf secara digital, serta berbagai tantangan digitalisasi wakaf. Pertama beliau membuka bahasan dengan menjelaskan urgensi digitalisasi, di mana saat ini keadaan covid-19 memaksa terjadinya digitalisasi dalam membentuk tatanan baru dalam masyarakat dan mempercepat proses digitalisasi. Dengan begitu, beliau menyampaikan adanya pandemi menjadi momentum bagi kita semua untuk melakukan akselerasi transformasi digital.
Beliau memaparkan urgensi digitalisasi yang sudah mulai dipahami oleh anak-anak muda. Mereka berpandangan bahwa agama sebagai kunci kebahagiaan, juga mereka makin dekat dengan karakter aslinya yaitu memberi. Beliau lanjut memaparkan data BWI mengenai potensi besar wakaf dari penduduk muslim kelas menengah per tahunnya. Salah satunya menggunakan wakaf uang sebagai alternatif pemanfaatan potensi wakaf masyarakat. Adanya digitalisasi dalam proses pengumpulan wakaf uang memiliki proses lebih sederhana melalui platform digital.
Selanjutnya, pada sesi materi kedua beliau menjelaskan beberapa hal penting pada digitalisasi dalam edukasi, literasi, dan mobilisasi wakaf. Hal penting pertama yaitu produk wakaf dengan adanya development dan digitasi dari produk tersebut, sehingga menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, objek sasaran yang sesuai bisa dilakukan dengan membangun customer journey. Ketiga, memanfaatkan platform sosial media, email, dan website sebagai media promosi dan marketing. Keempat, melakukan booster melalui influencer, iklan digital, serta memanfaatkan search engine optimization. Kelima, sebagai tahap paling akhir dengan melakukan analisis, evaluasi, serta improvisasi dengan mengukur hasil dan memperbaiki agenda selanjutnya. Menyebarluaskan literasi wakaf secara digital saat ini bisa dilakukan melalui berbagai sosial media dan aplikasi seperti instagram, youtube, hingga tiktok.
Kemudian, sesi materi ketiga Bapak Agastya membahas tantangan dan risiko yang masih ada saat ini dalam transformasi digital. Tantangan tersebut berupa ancaman dunia maya dan masalah keamanan, kurangnya SDM dengan keahlian digital, tidak memiliki rekan teknologi yang sesuai, ketidakpastian dalam lingkungan ekonomi, serta kurangnya dukungan pemerintah terkait kebijakan dan infrastruktur TIK. Risiko juga bisa dialami, salah satunya terjadi kebocoran data yang kemudian dijual oleh hacker.
Namun, ada peluang besar dalam potensi pengembangan digitalisasi menggunakan artificial intelligence untuk mengidentifikasi aset wakaf. Selain itu, diperlukan adanya prinsip dalam digitalisasi. Hal terpenting adalah prinsip berupa akhlak, begitu penyampaian beliau. Sebab apapun institusi dan programnya, kalau tidak dijalankan dengan insan yang berakhlak tidak akan berjalan semestinya. Dampaknya bisa terjadi masalah dan kompetensi dalam kegiatan digitalisasi yang dilakukan. Sehingga, dibutuhkan adanya amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif sebagai bagian dari akhlak sebagai prinsip.
Sebagai penutup, beliau menyampaikan ringkasan sebuah paper mengenai kebiasaan wakaf dan peran negara yang membahas bahwa kebiasaan dapat mempengaruhi dan membentuk karakter manusia sehingga kebiasaan baik perlu didorong. Dalam hal perwakafan, literasi wakaf perlu disebarluaskan kampanye wakaf secara masif. Untuk itu, negara dapat mengambil peran dengan menyediakan sumber daya yang memadai dan regulasi yang mendukung. Dengan begitu, semakin banyak masyarakat berwakaf, maka pemerintah akan tertolong dengan makin berdayanya masyarakat melalui berbagai kegiatan independen yang dibiayai oleh wakaf.
Oleh: Salwa Athaya Syamila
Editor: Imam Wahyudi Indrawan
WaCIDS telah mengadakan kolaboratif webinar Internasional antara WaCIDS dan Sahabat Ekonomi Ihsani (SAEI) pada Sabtu, 31 Juli 2021 melalui platform zoom. Dr. Adi Setia, Co-Founder Institute for Regenerative Livelihoods hadir dalam webinar Internasional dengan tema Reviving Waqf Islamic Gift Economy Framework sebagai pembicara. Serta dimoderatori oleh Dr. Lisa Listiana selaku Founder WaCIDS.
Sebagai pembuka, Dr. Lisa Listiana menyampaikan tren pada dua hingga tiga dekade terakhir pada makin banyaknya orang yang memiliki ketertarikan dalam meneliti wakaf. Saat ini, bahasan mengenai wakaf tidak hanya dari sisi fikih saja, tetapi jauh lebih luas pada aspek ekonomi dan keuangan. Banyak literasi berasal dari negara barat, sehingga pada webinar internasional kali ini akan membahas wakaf dalam framework Islam secara autentik.
Dr. Adi menyampaikan materi dimulai dari permasalahan mengenai ekonomi dan keuangan konvensional yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan dalam Islam. Beliau melanjutkan dengan pengertian ekonomi sesungguhnya, pengertian ekonomi sesungguhnya dalam perspektif Islam yaitu sebagai ilmu mencari nafkah dan rezeki, studi tentang bagaimana seseorang sebagai individu dan sebagai bagian dari komunitas, mencari nafkah dengan memanfaatkan karunia ilahi. Beliau menjelaskan tujuan utama ekonomi untuk menemukan kebijaksanaan dan ihsan di dalamnya. Sehingga setiap struktur transaksi muamalah memiliki dua hal utama yaitu memastikan adanya keadilan pada setiap transaksi antara semua pihak dan mempromosikan adanya ihsan berbentuk kedermawanan atau kemurahan hati di setiap transaksi.
Masuk ke dalam bahasan mengenai gift sesuai judul webinar ini, Dr. Adi memaparkan bahwa dalam Islam gifting lebih kepada memberi dan ihsan dibandingkan dengan mengambil profit dan eksploitasi pada ekonomi sekuler di Barat. Komunitas Islam didasarkan kepada pemberian terbaik pada berbagai hal meski pada transaksi komersial, begitu pemaparan beliau dengan tambahan contoh seperti sedekah, hibah, dan wakaf dalam konteks sosial.
Beliau melanjutkan pembahasan mengenai struktur tak terlihat untuk kebangkitan wakaf. Di banyak negara, banyak hukum tidak mengizinkan wakaf sehingga bisa membuat tujuan dari wakaf tersebut berubah dari seharusnya. Alternatif bisa digunakan dalam mengatasi hal ini disampaikan oleh Dr. Adi dengan melakukan wakaf secara tidak eksplisit dalam penamaannya, seperti hukum pada perusahaan yang berhubungan dengan usaha sosial. Wakaf bisa diintegrasikan ke dalam komunitas perbankan tanpa bunga.
Namun, Dr. Adi menyampaikan Fakta bahwa perbankan syariah masih belum sempurna dengan banyaknya perbankan dengan menggunakan nama syariah meski pada praktiknya mengikuti perbankan konvensional. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan untuk pentingnya belajar pada BMT di Indonesia sebagai keuangan mikro yang paling sukses berbasis tanpa bunga. Begitu penyampaian beliau sekaligus penutup di akhir webinar internasional kali ini.
Oleh: Salwa Athaya Syamila
Editor: Imam Wahyudi Indrawan
Published by wacids on August 7, 2021
WaCIDS telah mengadakan kolaboratif webinar Internasional antara WaCIDS dan Sahabat Ekonomi Ihsani (SAEI) pada Sabtu, 31 Juli 2021 melalui platform zoom. Dr. Adi Setia, Co-Founder Institute for Regenerative Livelihoods hadir dalam webinar Internasional dengan tema Reviving Waqf Islamic Gift Economy Framework sebagai pembicara. Serta dimoderatori oleh Dr. Lisa Listiana selaku Founder WaCIDS.
Sebagai pembuka, Dr. Lisa Listiana menyampaikan tren pada dua hingga tiga dekade terakhir pada makin banyaknya orang yang memiliki ketertarikan dalam meneliti wakaf. Saat ini, bahasan mengenai wakaf tidak hanya dari sisi fikih saja, tetapi jauh lebih luas pada aspek ekonomi dan keuangan. Banyak literasi berasal dari negara barat, sehingga pada webinar internasional kali ini akan membahas wakaf dalam framework Islam secara autentik.
Dr. Adi menyampaikan materi dimulai dari permasalahan mengenai ekonomi dan keuangan konvensional yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan dalam Islam. Beliau melanjutkan dengan pengertian ekonomi sesungguhnya, pengertian ekonomi sesungguhnya dalam perspektif Islam yaitu sebagai ilmu mencari nafkah dan rezeki, studi tentang bagaimana seseorang sebagai individu dan sebagai bagian dari komunitas, mencari nafkah dengan memanfaatkan karunia ilahi. Beliau menjelaskan tujuan utama ekonomi untuk menemukan kebijaksanaan dan ihsan di dalamnya. Sehingga setiap struktur transaksi muamalah memiliki dua hal utama yaitu memastikan adanya keadilan pada setiap transaksi antara semua pihak dan mempromosikan adanya ihsan berbentuk kedermawanan atau kemurahan hati di setiap transaksi.
Masuk ke dalam bahasan mengenai gift sesuai judul webinar ini, Dr. Adi memaparkan bahwa dalam Islam gifting lebih kepada memberi dan ihsan dibandingkan dengan mengambil profit dan eksploitasi pada ekonomi sekuler di Barat. Komunitas Islam didasarkan kepada pemberian terbaik pada berbagai hal meski pada transaksi komersial, begitu pemaparan beliau dengan tambahan contoh seperti sedekah, hibah, dan wakaf dalam konteks sosial.
Beliau melanjutkan pembahasan mengenai struktur tak terlihat untuk kebangkitan wakaf. Di banyak negara, banyak hukum tidak mengizinkan wakaf sehingga bisa membuat tujuan dari wakaf tersebut berubah dari seharusnya. Alternatif bisa digunakan dalam mengatasi hal ini disampaikan oleh Dr. Adi dengan melakukan wakaf secara tidak eksplisit dalam penamaannya, seperti hukum pada perusahaan yang berhubungan dengan usaha sosial. Wakaf bisa diintegrasikan ke dalam komunitas perbankan tanpa bunga.
Namun, Dr. Adi menyampaikan Fakta bahwa perbankan syariah masih belum sempurna dengan banyaknya perbankan dengan menggunakan nama syariah meski pada praktiknya mengikuti perbankan konvensional. Oleh karena itu, beliau merekomendasikan untuk pentingnya belajar pada BMT di Indonesia sebagai keuangan mikro yang paling sukses berbasis tanpa bunga. Begitu penyampaian beliau sekaligus penutup di akhir webinar internasional kali ini.
Oleh: Salwa Athaya Syamila
Editor: Imam Wahyudi Indrawan
Published by wacids on August 7, 2021
Waqf Training by WaCIDS #3 Sesi 2
Pemaparan materi dibuka dengan pembahasan studi kasus oleh Agastya Harjunadhi sekaligus pembicara pada training ketiga WaCIDS#3 dengan judul Digitalisasi Lembaga Wakaf. Beliau merupakan penasihat WaCIDS, founder Visi Peradaban Foundation, serta Direktur Utama PT Uridu Global. Kegiatan training kali ini berupa diskusi langsung antara trainer dan peserta training yang dilaksanakan pada hari Minggu, 1 Agustus 2021 melalui platform zoom. Selain diskusi interaktif melalui zoom, peserta training juga diberi kesempatan untuk melakukan diskusi berupa tanya jawab melalui grup Whatsapp pada hari Senin, Rabu, dan Kamis, serta ada pemberian tugas berupa studi kasus untuk memperdalam materi dari pembicara.
Tiga sesi materi dibawakan oleh Bapak Agastya Harjunadhi pada training WaCIDS#3 diantaranya pentingnya digitalisasi kelembagaan wakaf, edukasi dan mobilisasi wakaf secara digital, serta berbagai tantangan digitalisasi wakaf. Pertama beliau membuka bahasan dengan menjelaskan urgensi digitalisasi, di mana saat ini keadaan covid-19 memaksa terjadinya digitalisasi dalam membentuk tatanan baru dalam masyarakat dan mempercepat proses digitalisasi. Dengan begitu, beliau menyampaikan adanya pandemi menjadi momentum bagi kita semua untuk melakukan akselerasi transformasi digital.
Beliau memaparkan urgensi digitalisasi yang sudah mulai dipahami oleh anak-anak muda. Mereka berpandangan bahwa agama sebagai kunci kebahagiaan, juga mereka makin dekat dengan karakter aslinya yaitu memberi. Beliau lanjut memaparkan data BWI mengenai potensi besar wakaf dari penduduk muslim kelas menengah per tahunnya. Salah satunya menggunakan wakaf uang sebagai alternatif pemanfaatan potensi wakaf masyarakat. Adanya digitalisasi dalam proses pengumpulan wakaf uang memiliki proses lebih sederhana melalui platform digital.
Selanjutnya, pada sesi materi kedua beliau menjelaskan beberapa hal penting pada digitalisasi dalam edukasi, literasi, dan mobilisasi wakaf. Hal penting pertama yaitu produk wakaf dengan adanya development dan digitasi dari produk tersebut, sehingga menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, objek sasaran yang sesuai bisa dilakukan dengan membangun customer journey. Ketiga, memanfaatkan platform sosial media, email, dan website sebagai media promosi dan marketing. Keempat, melakukan booster melalui influencer, iklan digital, serta memanfaatkan search engine optimization. Kelima, sebagai tahap paling akhir dengan melakukan analisis, evaluasi, serta improvisasi dengan mengukur hasil dan memperbaiki agenda selanjutnya. Menyebarluaskan literasi wakaf secara digital saat ini bisa dilakukan melalui berbagai sosial media dan aplikasi seperti instagram, youtube, hingga tiktok.
Kemudian, sesi materi ketiga Bapak Agastya membahas tantangan dan risiko yang masih ada saat ini dalam transformasi digital. Tantangan tersebut berupa ancaman dunia maya dan masalah keamanan, kurangnya SDM dengan keahlian digital, tidak memiliki rekan teknologi yang sesuai, ketidakpastian dalam lingkungan ekonomi, serta kurangnya dukungan pemerintah terkait kebijakan dan infrastruktur TIK. Risiko juga bisa dialami, salah satunya terjadi kebocoran data yang kemudian dijual oleh hacker.
Namun, ada peluang besar dalam potensi pengembangan digitalisasi menggunakan artificial intelligence untuk mengidentifikasi aset wakaf. Selain itu, diperlukan adanya prinsip dalam digitalisasi. Hal terpenting adalah prinsip berupa akhlak, begitu penyampaian beliau. Sebab apapun institusi dan programnya, kalau tidak dijalankan dengan insan yang berakhlak tidak akan berjalan semestinya. Dampaknya bisa terjadi masalah dan kompetensi dalam kegiatan digitalisasi yang dilakukan. Sehingga, dibutuhkan adanya amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif sebagai bagian dari akhlak sebagai prinsip.
Sebagai penutup, beliau menyampaikan ringkasan sebuah paper mengenai kebiasaan wakaf dan peran negara yang membahas bahwa kebiasaan dapat mempengaruhi dan membentuk karakter manusia sehingga kebiasaan baik perlu didorong. Dalam hal perwakafan, literasi wakaf perlu disebarluaskan kampanye wakaf secara masif. Untuk itu, negara dapat mengambil peran dengan menyediakan sumber daya yang memadai dan regulasi yang mendukung. Dengan begitu, semakin banyak masyarakat berwakaf, maka pemerintah akan tertolong dengan makin berdayanya masyarakat melalui berbagai kegiatan independen yang dibiayai oleh wakaf.
Oleh: Salwa Athaya Syamila
Editor: Imam Wahyudi Indrawan
Published by wacids on August 7, 2021
Waqf Training by WaCIDS #3 Sesi 1
Pembuka acara disampaikan oleh Prof. Dr. Raditya Sukmana S.E., M.A dengan membahas kebutuhan alternatif berbentuk IT dalam lembaga wakaf, terlebih di Indonesia memiliki bonus demografi yang sadar terhadap IT. Potensi sangat besar dimiliki dengan adanya digitalisasi sangat luas dalam mendukung berbagai proses di lembaga wakaf, sehingga diharapkan melalui training WaCIDS kali ini dengan tema digitalisasi bisa mendapatkan ilmu mengenai betapa pentingnya IT dalam mengembangkan wakaf.
Tema training ketiga WaCIDS#3 berjudul Digitalisasi Lembaga Wakaf, dibawakan oleh Lutfie Adhiansyah selaku Direktur utama PT Ammana Fintek Syariah dan ketua eksekutif Pendanaan Syariah AFPI. Kegiatan berupa diskusi langsung antara trainer dan peserta training dilaksanakan pada hari Sabtu, 17 Juli 2021 melalui platform zoom. Selain diskusi interaktif melalui zoom, peserta training juga diberi kesempatan untuk melakukan diskusi berupa tanya jawab melalui grup Whatsapp pada hari Senin, Rabu, dan Kamis, serta ada pemberian tugas berupa studi kasus untuk memperdalam materi dari pembicara.
Dua materi yang akan dibahas oleh pembicara pada training kali ini yaitu mengenai industri fintech syariah dan sejauh mana apa saja yang sudah dilakukan, serta implementasi fintek syariah terhadap wakaf, kolaborasi, peluang dan potensi dalam memanfaatkan teknologi blockchain. Di awal pembahasan, Lutfie Adhiansyah membahas mengenai manfaat dalam mengadopsi teknologi dibandingkan tradisional. Dampak terbesar dari adanya digitalisasi pada tahap tertinggi yaitu siapa saja bisa mengakses produk yang ditawarkan dan semakin banyak pengguna produk. Melalui digitalisasi dapat menjangkau 50 juta pelanggan dalam waktu dua hingga empat tahun, berbeda dibandingkan dengan sistem tradisional yang membutuhkan waktu hingga 68 tahun pada industri maskapai penerbangan. Selain itu, kondisi pandemi saat ini membuka peluang momentum ekonomi syariah yang bisa dimanfaatkan wakaf dalam mengemas produk sebaik mungkin sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan produk wakaf. Selain itu, digital enterprise perlu memberikan pengalaman digital yang terotomasi agar setiap langkah pelanggan mendapatkan layanan berjalan efisien dan nyaman. Sehingga bisa memberikan efek kepada biaya lebih hemat, kualitas meningkat dan risiko terjaga.
Selanjutnya, pembicara membahas materi kedua yaitu praktik fintech dalam aktivitas wakaf. Beberapa contoh praktik beliau paparkan diantaranya crowdfunding cash-waqf, model kolaborasi wakaf kanal non-bank, model Supply Chain Financing-Wakaf, serta green financing renewable energy dengan tahapan-tahapan prosesnya. Selain itu, beliau memaparkan pemanfaatan praktis blockchain. Beliau melanjutkan, wakaf dengan blockchain memiliki berbagai manfaat diantaranya transparansi registrasi aset berupa keamanan dan tidak duplikasi, penelusuran transaksi menjadi lebih mudah melalui smart contract, real-time social matrix pada dampak dan peluang wakaf, serta memudahkan crowdfunding dan mengunci liquidity asset.
Sebagai penutup, beliau menyampaikan bahwa teknologi blockchain saat ini masih belum efektif karena skala ekonomi yang belum tercapai. Tetapi terlepas dari hal itu, melihat dari berbagai tren blockchain bisa dijadikan pertimbangan lembaga wakaf untuk menggunakan blockchain sebagai alternatif teknologi ke depannya.
Oleh: Salwa Athaya Syamila
Editor: Imam Wahyudi Indrawan