wacids.or.id – Sebagai bentuk tindak lanjut atas aspirasi yang dikirimkan oleh Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) kepada DPR RI, WaCIDS mendapatkan kesempatan untuk melakukan audiensi secara virtual dengan Komisi VII Fraksi Partai Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI. Audiensi yang dilaksanakan pada hari Selasa, 2 Maret 2021 dihadiri oleh Tim WaCIDS, Ketua dan Anggota Komisi VII, Humas, dan Tenaga Ahli Fraksi (TAF) PKS DPR RI.
Dalam audiensi tersebut, Pendiri sekaligus Direktur WaCIDS, Lisa Listiana, SE. M.Ak, PhD (Cand) menyampaikan presentasi di hadapan Anggota Dewan. Pemaparan yang disampaikan mencakup materi tentang wakaf dan kaitannya dengan EBT, membawa harapan agar wakaf benar-benar mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam sektor strategis (EBT) ini.
Urgensi ini muncul sebagai refleksi dari realitas hari ini, dimana Muslim yang banyak dari sisi jumlah belum bisa mandiri dan berdaya di negeri sendiri. Bahkan, untuk kebutuhan dasar seperti makanan halal dan energi, Indonesia masih mengimpor dari negara lain. Menurut Tim WaCIDS, sistem ekonomi kapitalis hanya menguntungkan pemilik modal sehingga semakin memperburuk ketimpangan di masyarakat.
Menurut data Oxfam dan The Interpreter, kekayaan 4 orang paling kaya di Indonesia lebih besar daripada gabungan aset 100 juta orang miskin di Indonesia. Lisa memberikan contoh sukses wakaf korporasi Sabanci Vakfi di Turki dan Hamdard National Foundation di India, Pakistan, dan Bangladesh untuk mengilustrasikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat yang dapat dihasilkan dari investasi aset wakaf di berbagai sektor strategis yang dikelola secara profesional.
Anggota DPR RI Komisi VII dari FPKS, Dr. H. Mulyanto, M.Eng, menyampaikan bahwa pada prinsipnya dana wakaf dapat diinvestasikan dan lembaga wakaf yang memenuhi syarat dapat terlibat dalam sektor EBT karena pada akhirnya yang menjadi output adalah terkait harga jual energi yang dihasilkan. Semakin terjangkau harga yang ditawarkan berarti semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan prioritas dalam lelang maupun negosiasi dengan PLN. Oleh karena itu, PR besar bagi lembaga wakaf adalah untuk meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan akuntabilitas, sehingga dapat mengelola aset wakaf dengan produktif dan meningkatkan kepercayaan, sehingga semakin banyak wakif yang mewakafkan hartanya.
Guru Besar Ekonomi Islam Universitas Airlangga, Prof. Dr. Raditya Sukmana, yang turut hadir sebagai Penasehat WaCIDS juga menyampaikan potensi kolaborasi antara universitas dengan program kampus merdeka, pemda, dan lembaga wakaf untuk menghasilkan energi bagi masyarakat, khususnya di daerah terpencil. Perwakilan dari FPKS mengkonfirmasi kemungkin ini dan menyampaikan kesiapan fraksi untuk mengadvokasi apabila mengalami kendala di lapangan. Secara filosofis, keterlibatan lembaga wakaf dalam sektor EBT akan menguntungkan masyarakat karena profit yang dihasilkan akan disalurkan kepada masyarakat sebagai bagian dari penerima manfaat. Dalam mekanisme tersebut, pemerintah melalui kementrian terkait wajib membantu, mempermudah, bahkan menambahkan jika diperlukan.
Oleh: Lu’liyatul Mutmainah, S.E, M.Si
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Categories: Berita
Sebagai salah satu instrumen keuangan sosial Islam berpotensi besar yang saat ini sedang digalakkan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah melalui Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU), wakaf perlu didukung dengan memasifkan edukasi dan sosialisasi melalui tulisan.
Webinar yang bertajuk “Wakaf Kita Hari Ini” dilaksanakan secara daring melalui Zoom Cloud Meeting dan dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang yang antusias dalam mempelajari penulisan bidang wakaf. Membuka webinar, pendiri sekaligus direktur WaCIDS (Waqf Center for Indonesian Development and Studies), Lisa Listiana mengajak para peserta yang memiliki ketertarikan riset di wakaf untuk bergabung di WaCIDS, sebuah lembaga riset dan thinktank independen dengan visi besar untuk menjadi pusat pengkajian dan pengembangan wakaf di Indonesia secara strategis. Webinar menulis ini diadakan sebagai bagian dari upaya WaCIDS mengajak semakin banyak orang menulis tentang wakaf baik di jurnal ilmiah dan media.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh wakil direktur dan peneliti WaCIDS Imam Wahyudi Indrawan. “Jadikanlah menulis ini sebagai bentuk ekspresi diri, gagasan, penunjang keterampilan dan menambah jaringan. Ini adalah the very first milestone untuk kemudian terus berproses dan belajar tentang wakaf secara berkelanjutan”, ujar Imam dalam penyampaian materi kegiatan Webinar Menulis WaCIDS, Sabtu (13/03/2021).
Jurnalis dan redaktur media Republika, Fernan Rahadi dalam webinar ini menjelaskan tentang tips dan trik dalam meningkatkan kualitas tulisan sehingga berpeluang untuk diterima di media massa. “Penulis pemula bisa mencoba untuk menulis berita, karena berita bukan hanya untuk wartawan, tapi juga masyarakat umum, yang terpenting memuat 4 nilai berita, yaitu aktual, faktual, penting, menarik”. Menurut beliau, cara terbaik menulis adalah dengan mulai menulis. Semakin banyak berlatih, akan semakin bagus hasilnya.
Ilmu kepenulisan menjadi penting bagi para praktisi maupun akademisi wakaf agar mereka dapat memperluas dakwahnya melalui tulisan yang dipublikasikan di berbagai media dan dapat memberi dampak positif bagi lebih banyak pembaca. Bukan hanya berupa artikel ilmiah, penggiat wakaf juga perlu memiliki kemampuan untuk menulis artikel populer seperti berita dan opini.
Webinar ini merupakan hasil kolaborasi WaCIDS, FoSSEI (Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam) Nasional, dan Yayasan Visi Peradaban Madani. Acara dimulai pada pukul 13.30 WIB oleh moderator, Iffah Hafizah selaku pengurus FoSSEI. Pada akhirnya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kita perlu belajar menyampaikan gagasan melalui tulisan terutama dalam mensosialisasikan wakaf agar lebih berkembang di Indonesia untuk memberi lebih banyak kebermanfaatan, Insya Allah.
Oleh: Aisyah As-Salafiyah dan Lu’liyatul Mutmainah, S.E, M.Si
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Categories: Berita
Tags: kolaborasimenulisWaCIDSwakafWaqf Center for Indonesian Development and Studies
Di Indonesia, banyak tanah wakaf yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk sektor pertanian. Bahkan di beberapa lokasi, tanah wakaf dengan ukuran puluhan hektar menjadi tanah kosong yang tidak dikelola (idle land). Berkaitan dengan fenomena ini, Ir Muhaimin Iqbal menyampaikan bahwa konsep wakaf mushtarak dapat menjadi salah satu solusi.
“Wakaf mushtarak merupakan salah satu konsep wakaf terbaik yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah dan diikuti oleh para sahabat, dimana seseorang mewakafkan harta dan menetapkan bahwa hasil pengelolaannya diperuntukkan bagi keluarga dan umat secara umum,” jelas pendiri sekaligus pimpinan iGrow membuka pemaparannya dalam acara webinar internasional “The Concept of Waqf in Agriculture” yang diadakan oleh IAIS Malaysia bekerjasama dengan Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) beberapa waktu lalu.
Konsep wakaf mushtarak belum banyak dikenal oleh masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Padahal dengan konsep ini, mobilisasi aset wakaf dapat diakselerasi. Sudan merupakan salah satu negara yang sudah menerapkan konsep tersebut dalam membangun bank, rumah sakit, hotel, dan berbagai proyek lain.
Menurut Bapak Muhaimin Iqbal, tanah wakaf dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk pembangunan masjid, rumah sakit, sekolah dan kegiatan sosial lainnya, namun juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif di sektor pertanian. Ketika tanah wakaf dibiarkan kosong, maka umat, terutama para dhuafa yang membutuhkan bantuan, tidak mendapatkan manfaat dari wakaf tersebut. Untuk memproduktifkan tanah wakaf di sektor pertanian, diperlukan tiga hal, yaitu lahan, pendanaan, dan keahlian (skill).
Berdasarkan pengalaman beliau di iGrow sebagai lembaga fintech sektor pertanian, diperlukan kolaborasi dan integrasi berbagai pihak, termasuk pihak pemilik lahan, dana dan keahlian untuk memproduktifkan lahan. Dalam praktiknya, diperlukan beberapa tahapan. Pertama adalah melakukan survei pasar (market survey) untuk memastikan tanaman apa yang tepat untuk lahan tersebut. “Sebelum menanam apapun perlu dipastikan pasar apa yang tersedia dan dibutuhkan di sekitar lokasi tersebut,” tegasnya. Kedua, menentukan keahlian untuk mengelolah lahan tersebut agar produktif. Ketiga, memilih jenis pendanaan yang sesuai. Wakaf uang dapat menjadi alternatif pendanaan untuk diinvestasikan pada sektor pertanian.
Pada akhir pemaparannya, inisiator Indonesia Startup Center ini menekankan bahwa yang paling penting saat ini adalah mengamankan lahan dengan wakaf. Jika lahan tersebut tidak dimanfaatkan untuk pembangunan masjid, rumah sakit atau sekolah, maka dapat diproduktifkan untuk sektor pertanian. Selain meningkatkan ekonomi umat, wakaf pertanian juga akan menjadi langkah awal untuk memasuki dunia biotech yang diperkirakan akan populer 10 tahun mendatang.
Oleh: Junarti, SE, M.Si dan Lu’liyatul Mutmainah, S.E, M.Si
Editor: Lisa Listiana, S.E. M.Ak, Ph.D (Cand)
Categories: Berita
wacids.or.id – Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS))
Wakaf merupakan bagian dari syariat Islam dan telah dipraktikkan secara luas sepanjang 14 abad peradaban Islam. Meskipun ibadah wakaf tidak bersifat wajib, namun kontribusinya sangat besar bagi peradaban Islam pada berbagai bidang, baik bidang dakwah (wakaf masjid), bidang pertanian (wakaf lahan Khaibar oleh sahabat Umat bin Khattab), bidang pengairan (wakaf sumur sahabat Utsman bin Affan), bidang pendidikan (Universitas Al-Azhar Mesir, pondok pesantren), bidang kesehatan (rumah sehat Dompet Dhuafa), dan bidang lainnya.
Keberhasilan pengelolaan wakaf hingga mampu berdampak bagi pembangunan sangat terkait erat dengan dukungan pemerintah, baik dari sisi regulasi, anggaran, hingga pembinaan. Sebaliknya, dukungan pemerintah yang minim dapat menghambat perkembangan wakaf. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam studi empiris yang dilakukan oleh Huda et. al. (2017), bahwa dukungan pemerintah yang merupakan salah satu faktor yang dirasakan perlu diperkuat untuk mengembangkan sektor perwakafan, khususnya di Indonesia.
Berangkat dari hal di atas, Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang dicanangkan pemerintah pada 25 Januari lalu dapat dimaknai sebagai suatu bentuk dukungan nyata pemerintah kepada sektor perwakafan. Meskipun diwarnai pro dan kontra, pencanangan GNWU pada akhirnya membuka diskursus mengenai perwakafan di masyarakat yang sebelumnya mengenal wakaf sebatas 3M (masjid, madrasah, dan makam).
Pada saat bersamaan, terdapat juga pihak yang menyatakan bahwa kehadiran GNWU justru dapat mengancam perekonomian. Hal ini dapat ditemui dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) yang dimuat pada kanal kedaipena.com dengan judul “Wakaf Uang dan Dampak Negatif Bagi Ekonomi, Surat Terbuka Kepada Menkeu”.
Melihat hal tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diklarifikasi terkait dengan pernyataan di dalam artikel tersebut. Pertama, penulis artikel menyatakan bahwa pemerintah perlu menjelaskan posisi wakaf uang yang akan dikumpulkan pemerintah di dalam struktur penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini mengingat bahwa: i) wakaf uang bersifat sukarela, berbeda dengan pungutan pajak maupun non-pajak yang bersifat wajib; ii) wakaf uang juga tidak bisa menjadi hibah karena rakyat tidak bisa memberikan hibah pada negara.
Berkaitan dengan hal di atas, perlu dijelaskan bahwa wakaf uang yang hendak dikumpulkan dari GNWU merupakan sumbangan bersifat sukarela dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan dikelola sebagai wakaf oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), artinya pokok dari uang yang disumbangkan akan dijaga akan tetap nilainya bahkan berkembang melalui investasi. Investasi ini oleh BWI diarahkan menuju Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) atau sukuk negara yang dananya berasal dari dana wakaf uang.
Sukuk negara, atau resminya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di dalam struktur anggaran pemerintah akan berposisi sama dengan obligasi atau Surat Utang Negara (SUN) adalah sebagai pembiayaan bagi proyek pemerintah maupun penyertaan pada Barang Milik Negara (BMN) dengan akad syariah, sebagaimana UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dengan kata lain, GNWU bukanlah penerimaan negara tetapi pembiayaan bagi pemerintah yang setiap periode harus dibayarkan imbal hasil oleh pemerintah. Investasi dari dana wakaf uang pada SBSN juga sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, pada Pasal 48 ayat 2.
Kedua, penulis juga menyatakan bahwa jikapun wakaf uang dari GNWU ini dimasukkan ke dalam SBSN, maka tidak akan relevan bagi perekonomian karena kunci dari dampak pembiayaan defisit terhadap perekonomian adalah nominalnya, bukan sumber pembiayaannya. Namun demikian, perlu disadari bahwa dampak dari pembiayaan melalui CWLS dapat lebih luas dari dampak perekonomian semata. Hal ini mengingat bahwa return CWLS yang diterima oleh BWI akan digunakan untuk program sosial kemasyarakatan.
Hal ini telah berjalan pada CWLS seri pertama yang return-nya digunakan oleh BWI untuk pembiayaan Rumah Sakit Mata Achmad Wardi di Serang, Banten. Maka, apabila pengelolaan return dari CWLS dioptimalkan oleh BWI sebagai nazhir/pengelola wakaf, potensi manfaat bagi kesejahteraan dapat menjangkau dimensi pembangunan yang lebih luas.
Ketiga, penulis menyatakan bahwadana wakaf uang yang menjadi target pemerintah diasumsikan sebagai dana yang sudah berada di dalam perbankan sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK). Oleh karena itu, penggunaan dana tersebut pada gilirannya tidak memberikan dampak makroekonomi karena tidak ada penambahan uang agregat dan pada gilirannya tidak berdampak bagi perekonomian.
Namun demikian, asumsi ini masih dapat diperdebatkan karena pada kenyataannya banyak mayoritas nazhir wakaf uang yang terdaftar di BWI adalah nazhir yang berbentuk Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau Koperasi Syariah yang menangani sektor mikro dan umumnya tidak bankable. Maka dana wakaf uang yang hendak dikumpulkan tidak sepenuhnya merupakan DPK perbankan.
Di samping itu, hal yang esensial dari pengelolaan wakaf uang ini bukanlah nominal uangnya semata, namun juga dampak dari pengelolaan uang tersebut. Jika uang di perbankan yang mengendap digunakan untuk aktivitas produktif pemerintah melalui CWLS dan return-nya kemudian disalurkan pada program sosial kemasyarakatan oleh nazhir, maka tentu dampaknya tidak hanya berdimensi makroekonomi namun lebih bersifat multidimensi.
Keempat, penulis menyatakan bahwa gerakan wakaf uang yang dikumpulkan negara dapat menyebabkan crowding out effect, yakni kondisi ketika lembaga keuangan mengalami kesulitan likuiditas akibat masifnya pembiayaan negara yang diambil dari sumber dana dalam negeri. Kondisi tersebut akan menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga sehingga pembiayaan bagi sektor swasta akan melambat dan pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, asumsi ini juga bisa diperdebatkan. Pertama, secara umum wakaf uang bisa disalurkan pada sektor swasta produktif selama bersesuaian dengan syariah. Bahkan, karena dananya berasal dari wakaf yang mana wakifnya tidak menuntut return, maka sebetulnya justru perbankan mendapatkan dana dengan cost of fund (biaya dana) yang hampir nihil sehingga dapat mendorong pembiayaan bagi sektor swasta yang “murah”.
Jikapun kemudian wakaf uang ini kemudian disalurkan pada CWLS dari pemerintah sehingga ada potensi crowding out effect dapat dimentahkan karena kondisi pandemi saat ini terjadi fenomena peningkatan DPK lebih cepat dari kredit. OJK mencatat pada November 2020, dua rasio yang mencerminkan perbandingan antara simpanan dan pembiayaan/kredit, yaitu LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan konvensional dan FDR (Financing to Deposit Ratio) perbankan syariah berada pada angka di bawah 100 persen.
Dengan kata lain, di setiap Rp 100 simpanan nasabah, jumlah kredit atau pembiayaan yang disalurkan perbankan tidak sampai Rp 100. Artinya, masih ada dana di perbankan yang bisa digunakan untuk pembiayaan yang jika faktor risiko akibat pandemi dikesampingkan, potensi penyaluran dana dari perbankan masih sangat dimungkinkan termasuk melalui mekanisme wakaf uang.
Kelima, penulis mempermasalahkan data mengenai potensi wakaf uang yang oleh Presiden dikatakan mencapai Rp 2.000 triliun, sementara dana di perbankan tercatat mencapai Rp 6.600 triliun menurut OJK pada November 2020. Terkait hal ini, pada dasarnya potensi wakaf uang tidaklah mutlak angkanya karena bergantung pada asumsi yang digunakan.
Nasution dan Hasanah (2006) menyatakan bahwa potensi wakaf uang mencapai Rp 3 triliun per tahun dengan 10 juta jiwa Muslim dermawan dengan pendapatan Rp 500.000 hingga Rp 10 juta berdonasi wakaf secara rutin. Sementara itu, BWI sebagaimana dikutip BKF Kemenkeu RI (2019) mencatat potensi wakaf uang mencapai Rp 180 triliun. Terlepas dari itu semua, yang terpenting bagaimana merealisasikan potensi itu karena permasalahan gap antara potensi dan realisasi masih menjadi isu utama sektor perwakafan.
Gerakan Wakaf Uang yang dicanangkan haruslah didukung sebagai wujud untuk memperkuat sektor perwakafan dan dampaknya bagi pembangunan. Namun demikian, diskusi kritis terhadap perkembangan perwakafan harus pula dilakukan agar inovasi perwakafan dapat terus lahir, tanpa perlu mendiskreditkan kehadiran wakaf itu sendiri di masyarakat.
Note: Opini ini telah dimuat di republika co id (https://republika.co.id/berita/qozdyv291/gerakan-wakaf-dan-manfaatnya-bagi-pembangunan)
Categories: Opini
Tags: WaCIDSwakafwakaf uang
wacids.or.id – Oleh: Lisa Listiana, S.E, M.Ak, Ph.D (Cand) – Founder Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS)).
Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) masuk dalam Prolegnas 2020-2024 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Berdasarkan rekam jejak di kanal DPR RI, RUU ini sudah mulai dibahas oleh Komisi VII sejak 17 September 2020. Sebagai salah satu bentuk kontribusi, Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) yang memiliki visi untuk menjadi pusat pengkajian dan pengembangan wakaf di Indonesia secara strategis telah mengirimkan aspirasi/masukan melalui badan legislasi, komisi terkait, dan perwakilan fraksi di DPR RI.
WaCIDS melihat perlunya mekanisme ataupun kesempatan agar 1) wakaf uang dapat diinvestasikan di Badan Usaha yang mengusahakan dan menyediakan EBT dan/atau 2) lembaga pengelola aset wakaf yang memenuhi syarat dapat memperoleh izin pengusahaan dan penyediaan EBT.
Masukan ini diberikan dengan mempertimbangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 dan beberapa Pasal dalam RUU EBT, diantaranya Pasal 2, 3, 5, 9, 16, 19, 24, 32, 35, 36, 46, 47, 48, 49, 50, 52. Orientasi EBT untuk menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional yang mendukung perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia yang pada akhirnya diharapkan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan karakteristik dan potensi wakaf. Jika diberikan kesempatan dan dikelola dengan profesional, wakaf dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi guna sebesar-besarnya kepentingan rakyat Indonesia.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pemilik modal adalah pihak yang paling diuntungkan karena modal yang dimiliki dapat diinvestasikan ke berbagai proyek strategis, termasuk sektor EBT. Kondisi ini terus berulang sehingga terjadilah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia lebih besar daripada gabungan 40% atau 108 juta orang paling miskin di Indonesia (The Interpreter, 2020). Disinilah urgensi memberikan ruang bagi wakaf uang dan/atau lembaga pengelola aset wakaf untuk terlibat dalam Badan Usaha di bidang EBT. Wakaf uang dapat menjadi instrumen untuk mengakumulasi aset ummat yang dapat digunakan sebagai “modal patungan” untuk berpartisipasi dalam sektor EBT.
Aset wakaf yang diinvestasikan di Badan Usaha di bidang EBT akan menghasilkan keuntungan karena produk atau jasa yang dihasilkan dibutuhkan secara masif oleh semua orang. Terlebih terdapat mekanisme penjaminan dari negara untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari EBT. Hal ini juga senada dengan pesan Ibnu Khaldun (Cendekiawan Muslim Abad ke-14) bahwa bisnis di sektor dengan kebutuhan tinggi (high demand) lebih bernilai dan menguntungkan. Termasuk dalam sektor dengan kebutuhan tinggi adalah sektor EBT yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Dengan akad wakaf umum (khairi), aset yang dikelola oleh pengelola aset wakaf (nazhir) akan tetap menjadi milik ummat. Keuntungan yang diperoleh dapat disalurkan kepada penerima manfaat, termasuk masyarakat yang membutuhkan. Dengan mekanisme ini, wakaf dapat menjadi langkah nyata gerakan dari rakyat dan untuk rakyat yang mendorong pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dalam jangka panjang, diharapkan wakaf dapat turut meminimalisir kemiskinan. Selain itu, dengan menginvestasikan aset wakaf ke Badan Usaha di bidang EBT, wakaf dapat berkontribusi untuk membuka lapangan kerja baru.
Categories: Berita