Oleh wacids, Dibuat tanggal 2021-02-11
wacids.or.id – Oleh Raditya Sukmana, Profesor Ekonomi Islam, Ketua Departemen Ekonomi Syariah, Universitas Airlangga. Imam Wahyudi Indrawan, Dosen Departemen Ekonomi Syariah Universitas Airlangga.
Wakaf dapat berperan dalam menyelesaikan polemik energi melalui sejumlah mekanisme
Awal tahun 2020, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya rencana kenaikan harga bahan bakar elpiji 3 kilogram (kg).
Hal ini berawal dari pernyataan Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto yang menyatakan kementerian tersebut akan mencabut subsidi ?gas melon?, yakni elpiji 3 kg, dan mengubahnya menjadi pemberian subsidi kepada penerimanya, yakni masyarakat miskin. Sebelumnya, subsidi diberikan pemerintah dengan skema? per tabung?. Namun, karena dirasakan bahwa subsidi tersebut kurang tepat sasaran, skema pun diubah.
Hal ini akan mendorong harga elpiji 3 kg disesuaikan dengan harga pasar yang diperkirakan dapat mencapai Rp 35 ribu per tabung. Selain itu, masyarakat miskin penerima subsidi juga dibatasi hanya akan mendapatkan subsidi hingga tiga tabung, sedangkan selebihnya tidak disubsidi. Rencana ini pun tak pelak menyebabkan kekhawatiran di masyarakat karena dianggap dapat memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada elpiji 3 kg seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang bergelut di bidang makanan.
Kenaikan harga dan pembatasan subsidi “gas melon” dapat memukul UMKM karena kenaikan biaya produksi menjadi begitu signifikan, terlebih skala penggunaannya yang cukup tinggi. Singkat cerita, rencana tersebut sampai saat ini belum diberlakukan, tetapi telah mendapatkan perhatian luas dari masyarakat. Dari sudut pandang pemerintah, rencana pencabutan subsidi elpiji sebenarnya memiliki alasan yang mendasar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat defisit sebesar 1,18 miliar dolar AS yang disinyalir diakibatkan oleh impor elpiji 3 kg. Dengan impor elpiji yang mencapai kenaikan 107,8 persen (year-on-year) dan penggunaan elpiji 3 kg yang tanpa batasan tetapi disubsidi, jelas hal ini akan menggerogoti anggaran pemerintah maupun neraca perdagangan Indonesia.
Karena itulah, kemudian dikaji kemungkinan perubahan skema subsidi agar lebih tepat sasaran dan menjaga efisiensi anggaran. Namun, ditinjau dari sisi sosial-ekonomi, hal tersebut memiliki efek samping.
Selain UMKM sebagaimana dibahas di atas, perubahan skema subsidi dan pembatasan pembelian elpiji bersubsidi dapat memukul rumah tangga yang selama ini telah menikmati elpiji dengan harga terjangkau.
Pasalnya, tujuan dikenalkannya elpiji sebagai pengganti minyak tanah agar bahan bakar rumah tangga dapat lebih bersih. Hal tersebut juga bertujuan mengurangi subsidi minyak tanah yang saat itu menjadi beban pemerintah. Selain itu, penggunaan elpiji sebagai bahan bakar memasak masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan penggunaan energi yang bersih.
Di sisi lain, diperlukan mekanisme alternatif agar kelak penyediaan bahan bakar bersubsidi dapat lebih transparan dan tepat sasaran. Untuk itu, penulis memandang wakaf dapat berperan dalam menyelesaikan polemik melalui sejumlah mekanisme.
Pertama, sebagaimana diketahui, saat ini wakaf tidak hanya terbatas pada wakaf tanah tetapi juga wakaf uang. Wakaf uang ini adalah dana yang diarahkan untuk menjadi dana bergulir abadi bagi investasi di sektor riil.
Maka, wakaf uang ini menjadi sumber dana pembiayaan bagi UMKM sehingga kapasitasnya dapat meningkat meskipun terjadi kenaikan harga elpiji. Yang termasuk dari pembiayaan ini adalah penyediaan alat masak ramah lingkungan dan bahan bakar elpiji sehingga dapat terjangkau bagi UMKM.
Secara teknis, pembiayaan dengan dana wakaf hendaknya menggunakan akad syariah seperti murabahah atau lainnya dan mengenakan margin yang sangat rendah. Dengan demikian, hal tersebut memudahkan bagi UMKM, tetapi keberlanjutan program pembiayaan dari dana wakaf dapat terjaga.
Kedua, untuk melengkapi skema tersebut, pengelolaan wakaf secara produktif yang menghasilkan keuntungan hendaknya diarahkan distribusinya kepada UMKM maupun rumah tangga miskin yang berhak. Distribusi ini dapat berupa tabung elpiji sehingga meringankan beban mereka yang membutuhkan dan mendukung program pemerintah.
Ketiga, selain dua skema tersebut, pengelolaan wakaf produktif dapat diarahkan untuk secara langsung menjadi penyedia gas bagi UMKM dan rumah tangga yang membutuhkan. Misalkan, lembaga pengelola wakaf dengan aset kelola wakaf uang yang cukup dapat membiayai penyediaan infrastruktur pemipaan gas bagi rumah tangga dan UMKM.
Lembaga pengelola wakaf dapat melakukan akad bagi hasil atau akad lainnya yang sesuai syariah dengan perusahaan penyedia gas serta memberikan harga yang terjangkau bagi pengguna berdasarkan subsidi dari pemerintah. Gas yang dihasilkan hendaknya disalurkan secara langsung kepada rumah tangga sasaran sehingga ketepatan subsidi gas dapat ditingkatkan.
Adapun bagi UMKM, infrastruktur yang dibangun dapat berupa stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) sehingga UMKM dapat menjangkau gas. Agar hal tersebut tepat sasaran, UMKM penerima subsidi hendaknya memiliki sejenis kartu identitas saat memasuki SPBG subsidi.
Tiga skema tersebut dapat terwujud jika ada sinergi antara Kementerian ESDM selaku penyalur subsidi elpiji dan lembaga pengelola wakaf yang akan menyalurkan pembiayaan bagi UMKM dan rumah tangga yang membutuhkan. Hal ini untuk menghindari terjadinya subsidi yang bertumpuk maupun ketiadaan subsidi bagi sebagian mereka yang berhak akibat kesalahan pemetaan data.
Perlu diingat, isu mengenai elpiji ini sangat krusial karena berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan energi yang bersih. Hal ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) nomor ketujuh, yang berfokus pada energi bersih dan terbarukan.
Sinergi yang dilakukan pemerintah dan lembaga pengelola wakaf diharapkan dapat menjadi jalan untuk penyediaan energi bersih bagi masyarakat secara efisien dan ekonomis.
Categories: Opini